tujuh

774 50 0
                                    

SUNGGUH, rasanya aku ingin menyobek mulut Nadine dengan tanganku sendiri. Di mataku, ia memang menyebalkan. Hanya saja, aku tidak pernah menyangka kalau ternyata sifat aslinya memang menyebalkan kalau tidak dilihat dari sudut pandangku yang terus merasa iri ia bisa bersanding dengan Harry. Perempuan itu licik dan aku mengerti kenapa Jack tidak menyukai Nadine.

Seperti biasa, ia akan membuka pembicaraan dengan berbagai pertanyaan mengenai diriku. Namun hanya sekadar itu. Mungkin karena ia merasa tak enak jika langsung membuka topik mengenai Harry.

Seperti dugaanku, Nadine menceritakan Harry setelahnya sambil melahap makan siang—ia sempat ingin menjemputku, namun buru-buru kutolak karena tengah berada di tempat kerja. Aku menyahut dengan antusias yang kupura-purakan. Aktingku lumayan karena sepertinya, ia tidak pernah tahu kalau aku hanya memakai topeng. Aku munafik, memang.

"Sebelum dia pergi ke LA, kami sempat pergi berkencan," ucapnya dengan wajah berseri-seri.

Awalnya, terasa begitu menyenangkan (baginya). Namun, tiba-tiba, suasana berubah mencekam. Ia meletakkan alat makannya ke atas piring dengan cukup keras hingga menimbulkan suara berdenting. Senyum yang tampak ramah tetap ada di wajahnya, tapi matanya memancarkan sesuatu yang berbeda. "Apa kalian sering bepergian berdua?"

Aku sempat mengernyit. "Maksudnya?" Dan juga, tetap kujaga suaraku agar tidak terdengar sedang merasa tidak nyaman atau bisa dibilang, cukup ketakutan. Bukan takut padanya. Aku hanya takut kalau saja ia mengetahui rahasia terbesarku.

"Ya, begitulah," sahutnya cuek sambil melanjutkan makan. "Seperti apa yang orang berkencan lakukan. Pergi bersama ke bioskop, berkeliling di kota, belanja bersama."

"Entah," Aku menjawab jujur karena masih tidak paham maksudnya. "Dia sibuk dan aku sendirian jarang bertemu dengannya. Kalaupun bertemu, tentunya yang kami lakukan hanya sebatas apa yang dilakukan oleh kakak dan adik."

Dan bagian yang paling kubenci di sini, saat Nadine melontarkan sederetan kata yang terdengar sederhana, namun memiliki arti lain di sana. "Baguslah. Karena aku mengira, salah satu dari kalian, atau kemungkinan besarnya kau, menginginkan hal yang lebih."

"Apa?"

"Tidak ada."

Lalu ia bangkit berdiri, menyudahi makan siang dan lagi-lagi menawarkan diri untuk mengantarku. Aku menggeleng sopan, walau dalam hati berusaha menahan diri tuk tidak membunuhnya saat itu juga. Nadine mengidikkan bahu acuh, lalu melenggang menuju mobilnya dan pergi.

Akhirnya dengan hati kesal, aku kembali ke restauran dan menceritakan ini pada Gabby serta Sam yang sudah kupercaya.

Jika kau tanya kenapa aku secepat itu bisa percaya pada mereka padahal baru saja kenal, maka akan kujelaskan.

Pertama, Gabby berusia 22 tahun dan ia sama sekali bukan seorang fangirl. Ia tidak suka pada hal yang seperti itu, sama halnya pada Sam. Katanya, itu hanya akan membuang-buang uang dan waktu. Kalaupun suka pada sesuatu, mereka hanya sekadar kagum. Makanya saat aku cerita siapa aku sebenarnya, mereka tetap biasa saja dan tidak memperlakukanku seolah aku ini ada seorang Ratu.

Dan bagaimana dengan Jessie? Oh, aku tidak begitu dekat dengannya. Hanya saja, Gabby bilang, Jessie menyukai John dan menjadi sedikit benci padaku karena John yang terus mendekatiku. Namun di mata Jessie, akulah yang mendekati lelaki rewel itu. Maka dari itu, Gabby dan Sam menganjurkan aku untuk tidak bercerita apa-apa pada Jessie. Itu hanya sekadar untuk berjaga-jaga, bukan ingin memperburuk nama baik seseorang.

Brother Complex [NEW VERSION]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang