#1 : narry
Iya, aku memang menyukaimu, tapi memilikimu adalah hal yang mustahil.
Lantas, apakah aku masih boleh menaruh harapan, sekalipun itu hanya bisa menyakiti diriku sendiri?
Cover by: kagraph
Louisa yang pertama turun dari mobil ketika sampai di pameran itu memperhatikan sekitarnya, sangat ramai sampai banyak yang berdesak-desakkan. Jika dilihat dari atas, pasti mereka semua akan tampak seperti kumpulan para semut. Harry merangkul Louisa membuat perempuan itu mengalihkan pandangannya dari sekitarnya, dan berfokus pada Harry.
"Ramai sekali ya?" Tanya Harry dengan mata menyipit karena sinar matahari langsung terkena wajahnya.
Louisa tertegun. Entah sudah berapa kali ia jatuh pada pesona lelaki yang sekarang berdiri di sampingnya. Rambut ikal berwarna cokelatnya semakin tampak terang karena cahaya matahari, begitupula dengan mata hijau jamrud. Semuanya tampak sempurna. Ia tak pernah menyangka bahwa ia bisa mencintai Harry tanpa adanya penghalang apapun walau akhirnya belum tentu bahagia. Bukan seperti dulu, ia selalu mencintai dalam ketakutan.
"Louisa? Hello?" Tangan Harry mengguncang tubuh Louisa pelan. "Lo melamun?"
Dengan cepat Louisa mengerjapkan matanya, berkali-kali ia merutuki dirinya untuk beberapa saat, lalu tersenyum pada Harry, dan mengajak laki-laki itu untuk masuk ke dalam pameran.
Banyak yang Louisa lihat di pameran itu. Sayangnya ia tak mengerti apa-apa. Ada banyak lukisan kuno dan aneh di sana, begitupula dengan barang-barang yang belum pernah Louisa lihat sebelumnya. Tak ada satupun yang menarik perhatian Louisa, kecuali sebuah tenda ungu dengan hiasan bintang yang menghiasi tenda itu.
Louisa mencolek lengan Harry, membuat laki-laki yang tengah asyik melihat-lihat sendiri itu menoleh. "Itu apa?" Tanya Louisa sambil menunjuk tenda yang ia maksud.
Harry mengikuti jari Louisa yang menunjuk ke suatu tempat. "Itu tempat peramal. Lo bisa meramalkan apa a--"
Belum sempat Harry menyelesaikan kata-katanya, Louisa sudah memotongnya dengan cara menariknya menuju tenda tersebut. Mata Louisa terbelalak ketika melihat antrian di sana. Ada sangat banyak orang, dan kira-kira mereka ada diurutan ke dua puluh satu. Harry terus membujuk Louisa untuk melihat yang lain saja, tetapi Louisa tetap kekeh pada pendiriannya yang penasaran akan peramal yang ada di dalam. Harry akhirnya mengalah, dan dengan sabar mereka menunggu selama hampir satu jam sebelum giliran mereka.
Kini keduanya berdiri tepat di depan tenda itu. Ya, merekalah yang selanjutnya. Entah mengapa Louisa yang awalnya sangat bersemangat kini malah menjadi diam. Ia takut dengan apa yang akan dikatakan oleh peramal yang ada di dalam sana. Tapi tak bisa ia urungkan bahwa ia penasaran. Akhirnya, mereka berdua masuk ke dalam.
Dalamnya sangat menyeramkan, gelap, tak ada satupun lampu di sana, kecuali sebuah bola kecil yang bersinar di hadapan sang peramal itu. Bahkan dandanan si peramal juga sangat menyeramkan.
"Apa yang ingin kalian ramal, anak muda?" Tanya si peramal langsung.
"Memangnya apa saja yang bisa?" Tanya Harry balik.
"Apa saja."
Baik Harry maupun Louisa diam sejenak, sebelum akhirnya mereka saling pandang, dan menjawab dengan bersama-sama tanpa komando apapun, "Masa depan."
Sang peramal mengangguk pelan, lalu menutup matanya, dan berkomat-kamit mengucapkan sesuatu yang tak dimengerti keduanya. Kedua tangannya terangkat ke atas bola kecil yang bersinar itu. Bola kecil yang awalnya berwarna putih itu berubah menjadi warna biru terang, lalu si peramal berkata, "Apapun yang akan terjadi, hanya ada dua yang bisa menggambarkannya: dengan hati yang puas, atau dengan lapang dada."
Lalu keduanya keluar dari sana tanpa bertanya apapun lagi walau ada banyak pertanyaan yang muncul di pikiran mereka.
"Apa maksud dari kata peramal itu?"
Harry mengangkat kedua bahunya. "Entahlah, yang pasti gue nggak terlalu pikirin. Nggak ada yang bisa tau apa yang bakal terjadi kecuali Tuhan." Tangannya mengacak rambut Louisa. "Jangan terlalu di pikirin."
Louisa hanya mangut-mangut mendengar itu, lalu keduanya berkeliling di pameran itu sambil tertawa melihat apa yang terjadi di sekitar mereka. Mulai dari perempuan gendut yang memarahi sang penjual bunga karena tokonya yang sangat kecil, seekor anak anjing yang tercebur ke dalam genangan air yang ada di sana karena terus menggonggongi anak kecil yang tak bersalah, bahkan sampai Harry yang tersandung karena terlalu sibuk menertawakan orang lain. Keduanya bukan lelah berjalan, melainkan lelah tertawa.
Harry berhenti berjalan, dan membiarkan Louisa berjalan di depannya. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu membuka kamera. Setelah Louisa sudah agak jauh darinya, ia memanggil Louisa, membuat perempuan itu berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya.
"Ayo bergaya!" Seru Harry sambil mengangkat ponselnya tinggi-tinggi.
Louisa terkekeh, lalu bergaya di sana, membiarkan Harry memotret dirinya. Setelah selesai, Louisa berlari kecil ke arah Harry untuk melihat hasil potret-an Harry. "Wah, kakak cocok jadi photografer," pujinya, lalu kembali berjalan, meninggalkan Harry.
Harry tersenyum, ia menjadikan foto Louisa tadi sebagai foto wallpaper lockscreennya, lalu menyimpan ponselnya, dan menyusul Louisa yang sudah berada di depan sana.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.