Ichi

6.9K 274 9
                                    


Keluarga Akashi adalah keluarga kelas atas dengan kekayaan dan sektor saham besar di Jepang. Kesuksesan ini masih berlangsung selama 3 turunan. Meski memiliki nilai gemilang, entah kenapa ada gosip buruk yang beredar di kalangan masyarakat. Keluarga Tunggal, begitu mereka menyebutnya. Gosip itu muncul lantaran selama 3 generasi -masa puncak kejayaan keluarga Akashi- mereka hanya dikaruniai satu putra tunggal yang kemudian menjadi penerus keluarga. Ya, selalu hanya satu putra saja.

Aku melihat Akashi Seijuro, putra tunggal keluarga Akashi, diam melamun menatap luar jendela perpustakaan sekolah. "Apa yang sedang kau lihat, Akashi-kun?" sapaku. Akashi tidak terkejut, dia menoleh dengan senyuman, seperti biasa.

"Sudah kubilang, bukan? Panggil aku Seijuro." katanya.

"Kalau begitu panggil aku Aika." sahutku. Akashi selalu memanggil nama depanku, tapi dia meminta aku memanggilnya dengan nama belakangnya.
"Itu tidak mungkin. Kau kan lebih tua dariku." kata Akashi.

"Usia kita hanya terpaut dua bulan. Untuk apa mempermasalahkannya?"

"Lagi-lagi kau berkata begitu." dengus Akashi sambil tersenyum. Dia merapikan tumpukan buku di depannya dengan tangan kurusnya.

"Apa sore nanti kau kursus piano?" tanyaku. Akashi mengangguk. Sebagai sesama keluarga berstatus sosial tinggi, aku tahu betul betapa sulitnya tuntutan untuk kami, para calon penerus. Aku pun dalam sehari menghabiskan waktuku untuk mengasah keterampilanku. Baik di bidang musik, seni, dan kepribadian. Namun, bahkan dengan jadwalku yang seperti itu, jadwal Akashi lebih ketat lagi.

Aku dan Akashi sudah kenal sejak lama, karena orang tua kami teman dekat tentunya. Setiap ada waktu kosong, aku pasti berkunjung ke rumahnya. Ibu Akashi menyambutku dengan sangat ramah, memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Namun, ayah Akashi begitu dingin. Mirip dengan orang yang kupanggil ayah di rumahku sendiri.

"Kudengar kau ikut klub basket." kataku. Kami berjalan bersama kembali ke kelas. Akashi kembali mengangguk. "Aku suka basket." katanya dengan senyuman.

"Sungguh? Sejak kapan?" tanyaku. Pernyataan Akashi cukup mengherankanku. Sebab aku jarang melihat dia bermain basket ketika aku berkunjung ke rumahnya. Akashi yang selalu kutemui di rumah adalah anak baik dan penurut yang dengan giat menjalani semua kursus yang dijadwalkan untuknya. Dan meski aku sering ke rumahnya, waktu yang kumiliki untuk berbincang dengannya sangat sedikit. Aku malah lebih banyak menjadi penonton kegiatan kursus Akashi.

"Sudah cukup lama." jawabnya singkat. Aku berkedip bingung.
"Sepulang sekolah aku ada latihan klub. Kalau kau tidak keberatan, kau bisa mampir." lanjutnya.

"Baiklah, aku akan mampir sebentar." kataku.

"Akashi Seijuro dari kelas 4 - 1, dimohon kedatangannya ke ruang guru", seru suara microphone sekolah. Akashi mendongakkan kepalanya menatap speaker yang menempel di dinding. "Kau dipanggil tuh!" kataku. Dia mengangguk. "Kalau begitu aku pergi dulu." pamitnya lalu beranjak ke arah berlawanan dari kelas. Sebagai ketua kelas, tak ada yang perlu ditakuti ketika Akashi dipanggil ke ruang guru.

Ya, Akashi adalah ketua kelas di kelasku. Dia memang melakukan tugasnya dengan baik. Kebijakannya kadang membuatku kagum, merasa dia bukanlah bocah yang seumuran dengan kami. Tapi, aku terkadang merasa semua orang selalu menimpakan tanggung jawab pada Akashi. Ribuan tugas berat ditompang oleh pundak kecilnya itu. Kecerdasan Akashi membuat dia diterjunkan dalam setiap agenda lomba antar sekolah maupun olimpiade nasional. Namun, itu belumlah segelintir dari beban yang ditanggung Akashi.

Ketika ada satu suara saja yang berkata,"Apa kita tidak terlalu membebankan semuanya pada Akashi?"

"Tidak ada yang dapat melakukannya sebaik Akashi."

"Hanya dia yang bisa."

"Apa kau meremehkan dia?"

"Ketika Akashi yang melakukannya, kesempurnaan akan nampak di depan mata."

Itulah jawaban-jawaban yang akan muncul. Keegoisan dari orang-orang yang memandang Akashi hanya dari satu sisi.

Sepulang sekolah~

Suara dencitan sepatu membahana di gedung olahraga. Beberapa anak asyik berlatih tanding sementara beberapa yang lain melakukan latihan fisik dan pemanasan. Aku mengedarkan pandanganku mencari sosok Akashi. "Ah! Itu dia!" seruku saat berhasil menemukan sosoknya yang tengah berlari sambil menggiring bola ke ring lawan. Gerakan Akashi sangat gesit. Dia selalu berhasil mengecoh lawan yang ingin merebut bolanya.
Dan dengan lompatan sedang, dia berhasil memasukkan bola ke ring lawan. Aku terpukau. Bukan karena permainan Akashi, tapi pada wajahnya. Wajahnya yang tampak puas dan senyuman tulusnya itu. Akashi memang selalu tersenyum, tapi senyuman yang tadi kulihat benar-benar baru pertama kalinya kutemui. Akashi melihatku lalu mengangkat tangannya, menyapa. Aku balas mengangakat tanganku, kemudian dia kembali bersama teman-temannya berebut bola. Kurasa, Akashi sudah menemukan kesenangan dalam hidupnya. Hp di saku bajuku bergetar. Ah~, mobil jemputanku sudah datang ya? Dengan langkah pelan aku beranjak meninggalkan gedung olahraga.

Waktu berlalu dengan kesibukan masing-masing individu. Bahkan, aku yang masih anak-anak pun memiliki kesibukan yang membuatku jenuh pada hidupku. Aku sampai tidak merasakan bahwa aku telah naik kelas 5. Tidak akan aku rasakan kalau saja tidak ada sebuah peristiwa penting yang terjadi. Ya, tahun itu, saat aku dan Akashi duduk di kelas 5 SD, ibu Akashi meninggal karena sakit.

Ditengah gerombolan orang-orang dewasa yang menggunakan baju serba hitam, aku berkeliaran mencari sosok Akashi. Dia masih memandang foto ibunya dengan tatapan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Aku hendak mengahampirinya, berusaha menghibur, tapi tangan ayahku dengan cepat menahanku. "Biarkan dia sendiri, Aika." kata ayah. Aku hendak bersuara, tapi melihat Akashi yang masih menatap hampa ke depan, aku akhirnya menurut.

Malamnya, aku menelfon Akashi. Tapi kata pelayannya, Akashi mengurung diri di kamarnya sejak upacara pemakaman ibunya. Bisa difahami. Akashi sangat menyayangi ibunya. Dia bisa bertahan dengan berbagai tekanan orang-orang disekitarnya, serta tetap menjalani jadwal padatnya dengan semangat, adalah karena dukungan dari ibunya. Aku tahu betul akan hal itu. Mungkin untuk beberapa hari ke depan, Akashi akan absen sekolah.

Aku mengedipkan mataku. "Selamat pagi, Shinomiya-san." sapa Akashi dengan senyuman yang biasanya. "Tunggu! Kenapa kau di sini?" seruku.

"Tentu saja sekolah."

"Tapi kemarin ibumu kan..." aku tidak melanjutkan ucapanku. Akashi membuka lembaran buku pelajaran di depannya. "Ibuku tidak ada hubungannya dengan kehidupanku. Apalagi sekolah itu untuk masa depanku." katanya dingin.

"Pasti karena ayahmu, kan?" gumamku. Aku tak bermaksud Akashi mendengarnya, tapi rupanya pendengarannya cukup tajam. "Kau berfikir begitu?" katanya.

"Aku...aku tahu betul. Karena kehidupan kita sama." kataku.

"Kalau kau merasa hidup kita sama, seharusnya kau tidak membahasnya, bukan?"

Aku terdiam mendengar perkataan Akashi yang begitu dingin. Dia pasti tertekan. Amat sangat tertekan. Aku benci ayah Akashi, aku benci semua orang, dan terpenting... aku benci diriku sendiri. "Hei Aika," kata Akashi -membuatku tersentak mendengar dia memanggilku dengan nama belakangku- ,"Sebaiknya kau berhenti mengikutiku. Hidupmu tak sebanding denganku." lanjutnya. Akashi menyimak bukunya kembali.

Eh? Aku kembali berkedip kebingungan. Apa yang tadi itu... benar-benar Akashi yang selama ini kukenal?



————————————————
Anim_FUI:
Hahahahaaha.....
Maaf kalau ada yang kurang bagus baik dari segi imajinasi, alur ataupun pemilihan kata. Kami sangat mengharapkan masukannya. Jangan lupa vote ya???

Satu komentar dari kalian akan memberi perubahan besar untuk kami. :-)

Beside You (Fanfict Story of Akashi Seijuro)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang