Nii Juu

1.6K 135 29
                                    


Awan menyelimuti anganku. Berlari membuka memori 5 tahun yang lalu, di saat Akashi baru saja kehilangan Ibunya beberapa hari yang lalu, yang mana entah bagaimana dia tetap beraktivitas seperti tak terjadi apapun. Ya, hari itu...
Di atas jembatan itu...

Masih tergambar jelas di otakku, wajah Akashi yang menatapku dengan nanar, raut wajah yang membuat hatiku ikut sakit melihatnya. Dia berucap beberapa kata. Tapi sayangnya aku lupa apa yang dia katakan saat itu.

Bila kuingat dari gerakan bibirnya....
"...aku ingin mati..."

.
.
.
.

Dengan sekuat tenaga aku menarik kedua tangan Akashi. Membuat pisau yang dipegangnya terlempar entah kemana. Kedua manik itu menatapku tajam. "Kau memang, sama sekali tak mengerti." katanya.

Aku tak berkomentar. Otakku sibuk mencerna apa yang tengah terjadi. Juga kebencianku pada sosok didepanku ini membuatku tak mau merespon apapun.

Kesunyian semakin berlarut tatkala Akashi 'yang lain' itu tak berkata apapun dan aku pun tak terpikir apapun untuk diungkapkan. Hampir 1 jam tak ada perbincangan apapun. Kulirik layar Hp ku, sudah jam 03.30. Kami menghabiskan waktu istirahat untuk berdebat seperti ini.

Akashi menghela nafas. "Ternyata memang percuma saja." katanya pelan. Dia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan melewatiku.
Langkahnya terhenti tatkala aku menarik lengan bajunya, menahannya pergi lebih jauh.
Aku sendiri tak tahu kenapa aku menahannya. Aku tak merasa ingin menyampaikan apapun padanya.

Akashi menatapku, kemudian beralih ke tanganku yang menggenggam erat lengannya.
Aku segera memutar otak mencari alasan ataupun bahan pembicaraan. Tapi percuma, tak ada apapun di otakku. Satu-satunya hal yang kutahu aku tak ingin dia pergi begitu saja. Aku merasa semuanya akan bertambah buruk jika dia pergi sekarang.

"Ada apa?" tanya Akashi setelah satu menit berlalu. Aku tak menyahut. Masih kebingungan mencari alasan. Tanganku gemetar. Sorot mata manik orange itu begitu menusuk. Seperti dia tak mengharapkan apapun lagi dariku.

"Menye...balkan..." desisku geram. Alis Akashi berkerut. Kueratkan genggaman tanganku di lengan bajunya dan menariknya, membuat kepalanya berbenturan denganku cukup keras. Akashi seketika mengaduh, dia tampak terkejut dengan aksiku.

Belum cukup sampai disitu, kusambar kerah bajunya dan kutarik sehingga wajahnya tepat berada beberapa centi didepan wajahku. Kutatap tajam kedua manik orange yang kebingungan itu.

"Kalau kau memang menyukaiku, buat aku menyukaimu! Berhenti berbelit dan membuat semua menjadi rumit! Kau mendengarku, Akashi-kun?! " teriakku.

Akashi terpaku, dia terdiam sambil terus menatap kedua mataku. Bahkan hingga kemudian aku melepaskan genggamanku dan berbalik pergi meninggalkan dia yang masih mematung di tempat yang sama.

Sesaat sebelum melewati pintu keluar, aku menoleh sejenak ke Akashi. Dia terduduk, dan menutup wajahnya dengan satu tangan. Senyumnya merekah, tapi aku tak bisa mengartikan arti senyumnya karena tak melihat kedua matanya. Akashi manakah yang tengah tersenyum, aku tidak tahu.

*
*
*
*

Aku tak henti-hentinya menguap sepanjang pertandingan latihan antara Rakuzan dengan Yosen. Ini semua gara-gara Akashi dan pembicaraan konyolnya tadi malam, dengusku. Di latihan pertandingan, Akashi ikut terjun dalam pertandingan dan tampak lebih pada membantu anggota untuk berkembang dengan kemampuannya. Di sela time out, dia berbincang serius dengan pelatih mengenai kemampuan anggota tim yang bermain. Para Raja Tak Bermahkota dan Mayuzumi senpai menonton di atas tribun. Mereka secara resmi tak lagi aktif di basket guna persiapan mengikuti ujian Universitas dan ujian kelulusan. Pertandingan Winter Cup kemarin benar-benar adalah pertandingan terakhir mereka.

"Huaaaaahm... ", aku mengutuk diriku sendiri yang terus menerus menguap di tengah latihan pertandingan seperti ini. Seharusnya aku tak menuruti ajakan Akashi kun tadi malam. Toh, kami tak menyelesaikan apapun.

Kulihat Akashi bergerak dengan gesitnya di atas lapangan. Matanya sigap melihat sekeliling dan posisi rekan timnya, dia menopang dan membantu dengan memberi operan di waktu yang tepat pada mereka. Bahkan meski dia tak mengeluarkan seluruh kemampuannya pun, skor Rakuzan jauh melebihi lawannya.

Bagaimana jika saja kemarin aku menolak ajakan Akashi-kun?
Apa benar perbincangan kemarin tak menghasilkan apapun?

Peluit tanda berakhirnya pertandingan berbunyi. Rakuzan menang atas Yosen dengan skor 83 - 62. Usai masing-masing tim saling berjabat tangan, tiba-tiba Murasakibara muncul beserta sekantong camilan sambil menguap. Entah kenapa rekan timnya terlihat tak mempermasalahkan keterlambatannya. Mungkin dia sengaja tidak diterjunkan dalam latih tanding karena dianggap sebagai kartu ACE. Apapun itu, itu keputusan mereka.

Aku menghela nafas. Entah kenapa segalanya semakin rumit. Pertunangan ku dengan Akashi kun sudah berjalan lebih dari 10 tahun, tak kusangka akan terhalang hal semacam ini. Apa hubunganku dan Akashi-kun nanti akan baik-baik saja?

************************************
Anim Suff

Jangan lupa vote dan komentarnya ya?
Masukan dari anda sekalian sangat membantu kami.

🎉 Kamu telah selesai membaca Beside You (Fanfict Story of Akashi Seijuro) 🎉
Beside You (Fanfict Story of Akashi Seijuro)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang