Go

2.1K 175 5
                                    


Sebentar lagi, turnamen Nasional akan diadakan lagi. Kiseki No Sedai berada di puncak kejayaannya. Sayangnya, mereka berjaya dengan permainan individunya, di bawah kepemimpinan Akashi tentunya.
Aku juga sudah jarang menghubungi Momoi. Kesibukan menjadi manajer sekaligus pengumpul data tim pasti sudah berat. Aku tidak mau menambah bebannya.

Sepulang sekolah, aku terkejut melihat Akashi berdiri di depan gerbang. Dia tersenyum melihat wajahku lalu mengajakku pulang bersama. "Kau tidak latihan? Bukankah sebentar lagi akan ada turnamen?" tanyaku.

"Tenang saja. Kami tidak akan kalah. Tidak akan selama ada aku." jawabnya arogan. Aku menghela nafas, menyadari kalau orang yang kuajak bicara sangatlah berbeda dengan yang dulu.

"Apa kau akan melihat pertandinganku?" tanya Akashi. Aku mengangkat bahu. "Aku akan mengusahakannya." jawabku.

"Kau harus melihatnya."

"Makanya aku billang..."

"Ketika aku bilang kau harus melihat maka kau harus melihat. Perintahku itu mutlak!" potong Akashi. Aku menatap matanya yang melotot tajam padaku.

"Aku mengerti. Aku akan melihatnya." kataku akhirnya. Akashi tersenyum. "Memang begitu seharusnya. Akan kuperlihatkan padamu. Apa itu kemenangan." katanya sambil meraih tanganku, menggandengku. Ini bukan sebuah keromantisan. Tangannya terasa dingin dan menggengamku kuat. Aku tahu betul ini bukan sebuah keromantisan. Melainkan sebuah kekang untukku, agar aku tidak memberontak padanya.

Pertandingan Nasional tahun ini benar-benar terlihat berat sebelah. Tidak tanggung-tanggung, skor yang dicetak SMP Teiko begitu jauh melebihi lawannya. Kadang dua kali lipat, tiga kali lipat, bahkan empat kali lipatnya! Sebuah pertandingan yang membuat orang terpaku akan kehebatan Kiseki No Sedai, sekaligus memberi pandangan iba pada lawan yang mereka hadapi. Sebab, kekalahan seolah sudah tertulis jelas di garis takdir mereka, bahkan sebelum pertandingan dimulai. Entah kenapa Akashi terlihat sangat menikmati permainan timnya. Meski mereka mencetak banyak skor, tapi itu tidak lebih dari permainan adu banyak skor untuk pemain tim Teiko sendiri.

"Motto Teiko adalah kemenangan. Hal tak berguna seperti kerja sama tim sama sekali tidak dibutuhkan." kata Akashi. Aku mengaduk Vanilla Shake-ku. Akashi memintaku untuk menemaninya makan di restoran usai pertandingannya. Karena aturan yang dia buat, dia juga dibebaskan dari kewajiban latihan. Namun, sisi baik dari dirinya –yang setidaknya masih berfungsi– membuat dia tetap mengikuti latihan dengan alasan tanggung jawab kapten.

"Apa tim mu baik-baik saja dengan itu?" tanyaku.

"Ya. Tidak ada masalah. Mereka menikmatinya. Pertadingan bisa sekaligus menjadi tolak ukur kemampuan mereka dengan musuh serta rekan mereka sendiri. Yang paling banyak mencetak skor, dia yang terkuat di tim. Dan diwaktu yang bersamaan, skor tim kami akan aman-aman saja. Tidak ada strategi yang lebih baik dari itu, bukan?"

"Bagaimana dengan laki-laki berambut biru muda, itu?" sahutku menatap tajam Akashi.

"Ah, maksudmu Tetsuya? Kau mengenalnya? Tumben sekali kau mengamati orang lain."

"Kau cemburu?"

"Jangan membuatku tertawa. Kau adalah milikku. Shinomiya Aika adalah milik Akashi
Seijuro."

"Baik, baik." sahutku sambil menghela nafas. Kalimat yang selalu kunanti keluar dari mulut Akashi, entah kenapa menjadi memuakkan. Terasa seperti kekang. "Dia tidak terlihat setuju dengan metodemu, Akashi-kun." kataku lagi.

"Tentu saja. Sebab dia bukanlah cahaya. Dia hanya bayangan. Dan bayangan tidak akan pernah dapat memahami cahaya."

Aku menatap lekat-lekat kedua mata Akashi. Ah, mata merah tajam favoritku kini terasa mengerikan. "Lagipula," Akashi menambahi. "Apapun yang terjadi pada timku tak ada hubungannya denganmu."

Beside You (Fanfict Story of Akashi Seijuro)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang