Satu

79 6 0
                                    

"Halo, Chambers."

Aku membelai kucingku yang sedang berada di atas perutku yang kecil ini. Kupikir sekarang masih malam, ternyata sudah jam 8.

Aku menuruni tangga menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Mungkin badanku terasa sedikit relax jika aku minum setidaknya satu gelas, pikirku. Baru saja menginjak anak tangga terakhir, aku mendengar suara gaduh dari dalam dapur, yang menurutku sangatlah aneh. Ini baru pertama kalinya ada suara gaduh sepagi ini. Sambil merapikan rambutku yang super berantakan, aku memberanikan diri ke dapur, dimana aku lupa menyalakan lampunya. Perlahan, terlihat sosok manusia yang tinggi tetapi tidak terlalu jelas. Mataku juga belum bisa melihat dengan jelas, jadi susah untuk melihat siapa di sana.

Klik.

Aku nyalakan lampu di langit-langit dapur, berharap bahwa seseorang itu bukan orang asing.

"Wah!" teriak orang itu yang seketika membalikkan badannya. Mengucek-ucek mata bukanlah ide yang bagus, justru membuat mataku blur. "Hai, Shelby. Apa kabar?" tanya orang itu. Aku mulai tertawa terbahak-bahak karena dia bukan orang asing, melainkan Thomas. "Sedang apa kau disini, Thomas?" aku balik bertanya, "Dan bagaimana caranya kau bisa masuk ke dalam rumah?"

"Tadinya aku ingin mengajakmu jogging di taman, tapi daritadi kau tidak membuka pintunya jadi kupakai saja kunci cadangan yang kau berikan waktu itu." jawabnya, "Lagipula kau juga kesiangan, jadi aku membuatkanmu sarapan."

"Oh ya, maaf atas kegaduhan tadi-itu ulah Chambers." tambahnya.

Aku hanya mengangguk tanda sudah dimaafkan dan melihat kucing Persiaku itu sedang makan makanan favoritnya, ikan Tuna. Melihat Thomas sibuk membuatkanku sarapan, aku memutuskan untuk menunggu di ruang keluarga. Ya, ruang keluarga, dimana semua kemalasan terjadi. Tiduran di sofa sambil menonton televisi. Aih, enaknya.

Akhirnya Thomas datang membawa dua sandwich yang kemudian ditaruh di meja depan televisi. Dia membuatku harus duduk agar dia mendapatkan tempat. Ia juga menaruh dua gelas teh, mungkin untukku satu dan satu lagi untuknya. "Jadi ini kubuatkan sandwich dan teh yang kau suka serta-" dia menghentikan ucapannya. Mataku masih terpana dengan berita bola di televisi.

"...Dengan gol dari Giroud dan Delaney berhasil membuat Arsenal menang atas Crystal Palace dengan skor 2-1..."

"Semalem nonton Arsenal, mba?" tanyanya. Dia memanggilku 'mba' dan itu membuatku ingin tertawa sepanjang hari. Pasalnya, orang setengah Polandia setengah Inggris seperti dia pastinya terdengar aneh saat mengucap sapaan itu, apalagi dia tidak pernah mendengarnya langsung dari orang Jawa.

"Hehehe iya, mas," aku menjawab sambil melempar senyumanku kepadanya.

Thomas aslinya adalah orang Inggris dengan sedikit unsur Polandia dari ibunya, sedangkan aku sendiri adalah seorang Indo-Jerman. Saat ini aku tinggal di London. Bukan, bukannya aku tersasar dan tak tahu arah jalan pulang. Aku menempati rumah yang dulu merupakan rumah nenekku. Aku bingung kenapa aku yang harus menempati rumah ini, bukan sepupu-sepupuku atau orang lain.

Tetapi mengingat apa yang nenek katakan sebelum kematian menjemputnya membuatku merinding setiap kali memikirkannya.


Dua tahun yang lalu aku menginap di rumah nenek. Ayah dan ibuku masih di Munich, sibuk dengan urusan perusahaan. Aku duduk di picnic table halaman belakang, tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya. Kemudian nenek, yang berjalan sambil membawa tongkatnya, duduk di sampingku. Aku terkejut saat ia menyapaku. Dokter sebelumnya mengatakan agar nenek tidak bergerak terlalu sering.

"Bukankah nenek harusnya istirahat?" tanyaku. "Ya," jawabnya, "tapi ada sesuatu yang ingin nenek bilang padamu."

"Apa, nek?"

CalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang