Sepuluh

12 1 0
                                    

"Dia mengeluarkan handphonenya saat itu dan kembali masuk ke dalam," tambahnya, "Bagaikan orang sibuk."


Siapa lagi itu? Pemain bola yang mempunyai ketinggian 6 kaki atau lebih dan rambut coklat keemasan? "Kau melihat wajahnya?" tanyaku. Dia menggeleng. "Tidak, orang itu bahkan bersembunyi di belakang gentong besar di dekat pintu restoran sehingga saya tak bisa melihatnya."

"Aneh," kataku, "Dia tak membicarakan itu di pesta."

Dia sekilas melihatku dan mengatakan, "Biasanya Nona Daisy selalu memamerkan pacarnya di depan teman-temannya. Membawanya kemana-mana bagaikan handphone yang hampir tak pernah lepas dari genggamannya. Tapi akhirnya mereka selalu putus dalam jangka waktu yang tidak lama." 

"Apa?" tanyaku terheran-heran.

"Seperti Nona Daisy dan Theo, Theodore Cameron. Mereka pertama bertemu di pesta milik Theo dan mereka akhirnya jadian. 3 bulan setelah itu mereka berpisah karena Theo bilang bahwa Nona Daisy sangat protektif," ujarnya.

"Dan juga," tambahnya, "Nona Daisy suka melirik pacar seseorang. Misalnya Nona Shelby mempunyai teman yang sudah punya pacar dan setelah itu putus. Ada kemungkinan Nona Daisy akan berpacaran dengan mantan teman Nona. Maka dari itu Nona Shelby harus hati-hati."


Setelah itu kami tak membicarakan Daisy selama beberapa waktu. Pikiranku mulai terusik kembali. Aku yakin apa yang Pak Alfred bilang itu benar adanya, tetapi aku tak yakin apa orang itu pemain bola atau bukan. Pikirkanlah, pemain bola jumlahnya cukup banyak. Apalagi pemain bola yang rambutnya coklat keemasan. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa penjelasan Pak Alfred sebenarnya belum spesifik, membuatku ingin mengulasnya lebih dalam. Tapi ia tak tahu lagi soal orang itu--kurasa orang itu tahu keberadaan Pak Alfred saat itu.

"Ngomong-ngomong, Nona Shelby dekat dengan Nona Daisy?" tanyanya sekaligus memulai pembicaraan lagi.

"Tidak," jawabku sambil menggelengkan kepala, "Aku tidak dekat. Aku tak tahan kerja di tempat yang sama dengannya."

"Loh, memangnya kenapa?"

"Dia menyebalkan," jawabku, "Nampak seperti anak kecil yang berlagak seperti orang dewasa."

Pak Alfred terdiam mendengar jawabanku. Mungkin aku terlalu kasar mendeskripsikannya? Ya? Aku bahkan tak tahu bagaimana cara mendeskripsikannya menggunakan bahasa yang halus.

"Sebenarnya saya sudah tidak tahan menjadi supirnya. Alasannya sama seperti alasan Nona Shelby, dia memang sudah dewasa tetapi kelakuannya masih seperti anak kecil. Tetapi jalani saja," ujarnya.


Aku mengerti apa yang Pak Alfred bilang: keterpaksaan. Ya, keterpaksaan memang bukan hal yang menyenangkan tetapi apa boleh buat? Enjoy saja.

Tak lama, kami sudah sampai di depan rumahku. Aku beranjak turun tetapi Pak Alfred menyuruhku untuk menunggu sebentar. "Ini kartu nama saya, in case kalau Nona Shelby butuh supir."

"Loh nanti kalau ketahuan Daisy bagaimana?"

"Itu gampang--kalau ketahuan ya saya mengundurkan diri saja," katanya sambil tertawa. Aku tak lupa memberinya amplop berisi sejumlah uang sebagai tanda terima kasih telah mengantarku. Raut wajah yang tadinya kusut menjadi bersinar setelah itu. "Terima kasih, Nona Shelby. Semoga harimu menyenangkan," sahutnya.



Aku tiba di rumah dan jam menunjukkan pukul 10 malam. Sial, batinku, aku harus ganti baju. 



"Oit."

"Oit."

CalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang