Seruan-seruan ulang tahun mulai terdengar di halaman belakang. Aku beranjak dari ranjang tidurku dan melihat dari jendela. "Siapa yang masih merayakan ulang tahun di backyard?" tanyaku.
Menggunakan flip-flop dan sweater pun jadi: aku keluar untuk melihat siapa yang siang bolong begini masih saja ribut. Menganggu tidur siangku. Aku menggerutu di sepanjang jalan menuju belakang.
Aku menemukan orang-orang yang wajahnya sangat familiar sedang berdiri menyanyikan lagu ulang tahun. Wah, coba lihat, ada sepupu-sepupu, paman, bibi, dan kakek nenek, serta-- oh, ibu dan ayah!
"Ayah, Ibu," sapaku. Mereka tidak merespon. "Ayah?" aku melambaikan tanganku di hadapannya -- begitu juga terhadap Ibu. Tetap saja mereka tidak melihatku, bahkan mendengarku saja tidak. Mungkin aku di alam bawah sadar, pikirku. Ya sudahlah, aku mulai berkeliling halaman belakang, mencari tahu sedang apa mereka semua di sini.
"Selamat ulang tahun, Kerang kecil!" dari kejauhan aku melihat kakek menggendong seseorang. Tunggu sebentar, sepertinya aku pernah melihat anak itu. Aku mendekat, mendekat, dan mendekat untuk melihat siapa itu. Jantungku mulai berdebar kencang selagi aku mendekati kakek.
Itu aku saat masih kecil. 12 tahun yang lalu. Jadi aku melihat aku yang berumur 8 tahun? Aku sebenarnya dimana ini?
Aku menyapa semua orang di sini dan tak ada satupun yang menjawab. "Ayolah," teriakku. "Kalian semua ini kenapa?"
Rata-rata tamu undangan adalah anak-anak sepantaranku. Aku ingat ibu dan ayah sebelum ini sibuk sekali membuat undangannya, seingatku ada sekitar 20 orang yang diundang. Aih, indahnya masa kecil. Tidak mengenal kata 'tanggung jawab' dan 'deadline' dan semacamnya, yang hanya diingat adalah 'main', 'makan', dan 'tidur'. Seandainya saat aku masih kecil tahu bagaimana kehidupanku yang sekarang, mungkin saja aku tidak selengean seperti itu.
Coba lihat, ada Thomas saat masih kecil! Dia datang ke ulang tahunku menggunakan jas putih serta bow tie berwarna hitam. Dan ada juga Bianca, Ellie, dan Peter. Aku sudah menjalin pertemanan dengan mereka semua sejak aku dibawa ke London untuk mengisi cuti orang tua. Ya walaupun kami semua berpisah-pisah layaknya bagian-bagian puzzle yang hilang, kami masih bisa berkomunikasi -- menggunakan Skype. Hanya itu satu-satunya yang kuinstall di laptopku. Sisanya, seperti: Twitter, Whatsapp, Facebook, Kik, dll ada di handphone.
Tak lama kemudian ada sesi pemberian kado dari masing-masing tamu undangan. It was my favorite at that time. Ukuran bingkisannya bervariasi: dari kecil ke besar sampai dari ringan ke berat. Saat itu aku belum bisa menebak apa yang mereka berikan karena aku kebanyakan menghayal. Aku ingat aku pernah menduga bahwa ayah memberiku unicorn padahal ia memberikan boneka beruang yang besar. "Ini dariku. Terimalah," rata-rata teman-temanku berkata seperti itu. Dengan senang hati aku yang kecil menjawab, "Iya, makasih kawan."
Sambil antusias melihat tumpukan bingkisan di belakang aku yang kecil, aku melihat seseorang mengintip dari pagar. "Siapa itu?" tanyaku terheran-heran.
Aku pun menghampirinya dan ia terkejut. Pasalnya saat aku menemukannya, ia terlihat seperti sedang berbicara kepada seseorang dan aku tidak melihatnya. "Hai anak kecil," sapaku, "Sedang apa kau di sini?"
Anak itu gugup dan ketakutan, terlihat dari matanya yang mulai berkaca-kaca. Aku jongkok mendekatinya sambil mengusap kepalanya. Aku juga melihat tangan kirinya yang menyembunyikan sesuatu dariku. Dilihat dari pakaiannya, kuyakin betul dia adalah salah satu yang diundang ke acara ulang tahunku yang kedelapan tahun.
"Kenapa kau tidak masuk?" tanyaku.
"Aku takut," jawabnya. "Aku tidak tahu aku harus bilang apa padanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cal
Short StoryAku Shelby. Sekilas hidupku masih normal sampai orang itu datang di kehidupanku dan menjadi bagian dari hari-hariku. // P E R S O N A L W O R K //