Sembilan

18 3 0
                                    

Sudah berbulan-bulan sejak ia memelukku tapi aku bisa merasakan betapa bahagianya diriku saat itu. Aku masih bisa menggambarkan suasana itu, tapi rasa rinduku padanya merusak gambar itu. Aku terkadang meluangkan waktuku untuk sekedar main ke rumahnya setelah pulang kerja. Aku ingat saat sampai disana, aku mengetuk pintu itu berulang kali tapi selalu tak ada yang menjawab. Ya, pemain bola memang orang sibuk.

Aku mengayuh sepedaku menuju tempat kerjaku, yaitu di sebuah cafe dekat Emirates Stadium yang sekarang sudah ramai dikunjungi pelanggan setiap hari. Dalam hal ini aku berterima kasih pada Chambo yang telah menilai cafe kami 5 dari 5 di Google Maps. Michelle, sepupuku, melihatku memarkirkan sepeda dan menyapaku. "Buruan gih absen, keburu telat. Tas jangan lupa taruh di pantry ya." Ia mengingatkanku bahwa aku masih harus menaruh tas dan semua bawaanku di pantry serta absen di belakang kasir. "Makasih, Mb Michelle!" Kemudian aku bergegas melakukan apa yang seharusnya ku lakukan. Seperti biasa, aku bekerja menjadi pelayan, melakukan rutinitasku. 

"Maaf, Mr. Wayne, boleh aku break sebentar?" Mr. Wayne sedang duduk sendirian dengan tumpukan kertas dan file-file yang mungkin berisi beberapa laporan penting. Aku tak bermaksud untuk mengganggunya. "Boleh-boleh." Dia masih berkutat pada laporannya itu dan saat ia menjawabku matanya tak memandangku. Ini resmi: aku istirahat.

Seperti biasa aku duduk di tangga belakang pantry dan Scott duduk di sampingku. "Diem mulu. Ada apa denganmu?"

"Aku kangen temen," jawabku. Ia tertawa dan bilang, "Tumben kangen sama temen sendiri."

"Yang ini beda," tambahku, "Dia...."

"Ya dia berbeda karena kau menyukainya kan?"

"Bagaimana kau tahu?" tanyaku terheran-heran.

"Saat mereka bertiga (Calum, Chambo, dan Per) datang, kau memintaku untuk bertukar kerjaan dan aku melihatmu pulang bersamanya setelah selesai kerja." Mukaku kembali memerah. Entah aku menyebutnya suka atau tidak tapi aku masih tidak bisa berhenti memikirkannya. Bisa dibilang begitu sih.

"Ah aku tak tahu," keluhku, "Dia temanku, dia tetanggaku. Kami memang dekat, tapi apa aku punya rasa sama dia?" tanyaku. Aku sebenarnya ingin sekali mengakuinya tapi terlalu canggung. Pasalnya kami baru saja bertemu dan tak berbuat banyak selain berpelukan yang pelukannya kuanggap sebagai sebuah friendly hug.

"Aku tak tahu," jawabnya, "Hanya kau dan Tuhan yang bisa menilainya."

"Oh ya," ia memulai lagi pembicaraan baru, "Kau sering lihat Daisy berduaan dengan Calum di depan kan?"

"Ya... kenapa?"

"Kau harus mulai bertindak sebelum ia mendapatkannya darimu," sarannya.

"Sekarang dia jarang berada di rumah," kataku.

"Itu membuat keadaan tambah parah," ujarnya, "Kalau begitu kau hanya bisa berdoa. Percuma kau mencarinya. Kau sendiri tak tahu dimana dia."


Akhirnya sudah ditutup. Aku baru saja mengunci pintu cafe sebelum kulihat teman-temanku masuk ke dalam dapur. Mendengar teriakan seperti 'Ayo berkumpul' di dalam sana, aku mencoba mengikuti yang lain menuju dapur. "Hey, ayo ke sini sebentar!" sahut seseorang. 

Di tengah kerumunan itu, Daisy mengeluarkan beberapa undangan dari dalam tasnya dan mulai membagikannya kepada teman-teman. "Sabtu malam aku akan mengadakan pesta di Peckham Refreshment Room. Aku mengharapkan kedatangan kalian di sana," katanya sambil sibuk membagikan undangan.

"Halo, Shelby!" sapanya penuh ceria. Ugh, manis di luar busuk di dalam. "Aku sangat mengharapkan kehadiranmu besok. Datang ya," katanya.

"Aku tak tahu nih," sambil melihat undangan itu sekilas. "Kau bisa ajak Tom--"

CalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang