Dua

29 3 0
                                    

Aku hanya berbaring menatap awan di langit sana.

Bosan sekali, gerutuku.


Rencananya aku masih punya waktu seminggu untuk menghabiskan liburanku, sebelum aku kembali kerja. Entah apa aku sebut itu kerja sambilan atau kerja tetap. 

Chambers tertidur di atas perutku lagi dan Thomas sedang tiduran di sampingku. Aku merasa bosan sekaligus capek, padahal aku tidak tahu apa yang aku lakukan tadi pagi. 

Aku kemudian menutup kedua bola mataku, mencoba menghilangkan segala penat yang ada.


"Surat!"

Ah, suara si pengantar surat. Kenapa bisa menggema sejauh ini sedangkan aku berada di halaman belakang? Aku bergegas masuk ke rumah untuk membuka pintu depan. Benar, itu si pengantar surat.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sambil mengucek-ucek mata karena aku terbangun karena suaranya.

"Ya," jawabnya, "kebetulan ada surat untuk Anda dan satu lagi untuk tetangga Anda"

Tetangga? Kenapa diberikan padaku?

"Kenapa dikasih ke saya? Kan bisa ditaruh di atas kesetnya."

Ia menjelaskan, "Awalnya saya berpikir demikian, hanya saja saya khawatir surat ini penting untuknya, jadi saya menitipkannya pada Anda daripada terjadi hal yang tidak diharapkan."

Aku hanya menggangguk setelah orang itu pergi membawa mobil boksnya.

"Lucu sekali," kataku.

Aku duduk di sofa untuk membaca surat yang ditujukan untukku. Oh, ternyata itu surat dari Mika. "...Dan ya, aku hanya bisa mengirimkan beberapa postcard yang bergambar koala. Semoga kau suka melihat bola-bola bulu lucu itu..." Aku membacakan sepenggal surat dari Mika yang sedang berada di Australia. Ah, lucunya koala-koala itu.

Pluk.

Surat satu lagi jatuh dari pangkuanku. Aku lupa bahwa aku dititipkan surat dari si pengantar surat. Loh ini surat buat siapa? Aku lupa bertanya untuk siapa surat itu ditujukan. Ya aku tahu itu ditujukan untuk tetanggaku, maksudku siapa namanya?

Dari.... siapa ini? Tulisannya seperti tulisan dokter. Bagus, rapi, dan terlalu indah sehingga susah untuk dibaca. Aih, menyedihkan.

Aku memutuskan untuk datang ke Mr. Roberts. Dia dosen, mungkin saja dia bisa membacanya.


Tidak membutuhkan waktu banyak untuk berjalan ke rumahnya. Hanya menyebrangi jalan dan kau sudah sampai. Aku mengetuk pintunya dan yang keluar adalah Caroline. "Maaf, Caroline, apa ayahmu ada?"

"Ya, ayah ada di ruang kerjanya," jawabnya. Matanya kebetulan menangkap surat yang kubawa. "Apa itu?"

"Surat. Aku tidak bisa membaca untuk siapa surat ini." "Dan aku lupa menanyakannya pada si pengantar surat," tambahku.

"Baiklah kalau begitu, silahkan masuk." Ia mengantarku masuk ke dalam rumahnya yang kecil. Tak lupa ia memberi aba-aba agar aku menunggu di ruang tamu saja. Setelah itu, keluarlah Mr. Roberts dari bentengnya aka ruang kerja. 

"Siang, si kecil Shelby. Apa yang bisa kubantu?" Ia menyapaku dengan sangat ramah, bahkan aku seperti menganggap ia seperti ayahku. "Uh," selaku, "aku dititipkan surat tapi aku tidak bisa membaca namanya dengan jelas."

Sekejap aku merasa sangat bodoh untuk menanyakan hal sepele seperti ini.

Aku memberikan surat itu kepadanya. Sambil mengenakan kacamatanya yang besar, ia bertanya apakah aku sempat melihat isinya. "Aku tidak berani membukanya, aku tidak ingin mencari masalah." Mr. Roberts hanya mengacungkan jempolnya ke arahku.

CalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang