BAB 4

786 67 7
                                    

“If i had known what  i'd  known now. I never would have played so nonchalance” -- Taylor swift

***

Backsound : Rendi Matari - Magic Hours


***

CINTA terkadang seperti MagicHour, membahagiakan hanya sebentar. Apa yang kalian harapkan dari momen senja berkemas? Kalian hanya bisa menikmati keindahannya sekejap dan kemudian gelap. Begitu pun cinta, Jika kau ingin mengenalnya--- Kau juga harus siap dengan bahagia dan luka yang siap datang kapan saja. Secepat moment MagicHour. Karena tidak ada bahagia yang bersifat kekal.

Kila terduduk di lapangan basket yang berada di sebuah hutan tropis. Tidak jauh dari perkampungan --- di luar kota Jakarta. Sebuah ring masih berdiri kokoh disana meski sudah termakan usia. Kila tersenyum samar, ia rindu dengan tempat ini. Tempat dimana semua bermulai. Sudah empat tahun lamanya Kila tidak mengunjungi tempat ini. Bukannya Kila lupa dengan tempat ini, dia hanya tidak ingin kembali rapuh. Meski sejujurnya ia sudah sangat rapuh sebelum datang ke tempat ini. Kila hanya belum siap jika tempat ini juga menyudutkannya tentang kebodohan masa lalu itu. Terlalu banyak kenangan manis di tempat ini. Kenangan bersama dia.

Kila memutuskan untuk ke tempat ini setelah photoshoot itu selesai. Saat pria itu melepas kontak mata dengannya, Kila langsung tersadar dan dia langsung berganti busana. Dia hanya bilang pada Raka jika ia ingin sendiri.

Kila sudah tidak sanggup melihat kemesraan pasangan itu. Dia sudah tidak sanggup melihat tatapan sayang Aldrin untuk Vanessa.

“Kamu bohong” , Kila membenamkan wajahnya di tekukan lututnya. Tubuhnya bergetar selaras dengan kilasan masa lalu yang mulai berputar.

“Kila...”

“Ya” , Kila masih asyik men-dribble bola dan sesekali memasukkannya ke ring. Rambutnya yang di kuncir ekor kuda bergerak ke kanan-kiri selaras dengan pergerakan Kila.

“Bisa berhenti bentaran nggak mainnya?”

Aldrin memilih berbaring di lapangan basket itu, menatap nyalang langit yang sudah tidak terik.

Kila akhirnya berhenti memainkan bola basket dan mengikuti Aldrin untuk berbaring di sampingnya.

“Nanti kalau kita udah wisuda dan kamu udah kerja atau ngejar cita-cita ke luar negeri, kita tetep kayak gini kan Kils?”

“Aku nggak akan kemana-mana kok. Dan tentu saja kita akan seperti sekarang ini. Enggak ada yang berubah. Nanti kalau kamu udah sukses jangan lupain aku ya.”

“Aku akan selalu ingat sama kamu sesering aku bernapas. Aku nggak akan lupain kamu. Aku janji. Aku akan selalu sama kamu. Selamanya”

“Janji?” , Kila mengarahkan jari kelingkingnya ke arah Aldrin dan di sambut dengan jari kelingking cowok itu.

“Janji”

“KAMU BOHONG ALDRIN” , Kila berteriak dengan kencang. Dia tidak peduli dengan langit yang sudah berubah mendung. Kila juga tidak memperdulikan kilat yang menggelegar.

Tangisannya berderai bersamaan hujan lebat yang turun sore ini. Perlahan tapi pasti hujan itu membasahi tubuh Kila. Perempuan itu tidak peduli, jika memang hujan ini bisa menghapus rasa sakitnya ia rela hujan-hujanan selama mungkin.

“Aku nyesel Aldrin. Maafin aku udah bikin kamu sakit hati” , Suara parau Kila begitu memilukan. Beberapa kali ia tersedak air hujan. Ia memang pengecut karena tidak berani meminta maaf secara langsung. Dia belum siap menerima kemungkinan terburuk.

Back to DecemberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang