Bena

13 3 0
                                    

IA tinggal di atas, lantai empat. Tiap-tiap rumah di gedung ini berukuran sama. Aku tak tahu berapa ukuran tepatnya, tapi cukup luas—sudah termasuk kamar mandi, dapur, satu kamar tidur, serta ruang makan. Enak punya kamar mandi sendiri. Di rumah asliku di Labuan-Banten, tak ada kamar mandi dalam kamar tidur sendiri.

Pria itu pindah dua hari lalu. Usianya kuperkirakan mendekati 25 atau lebih tua. Aku tak pandai menebak usia seseorang dari fisik, seperti sosok tinggi-kurus berambut ikal-pendek dengan bentuk wajah oval ini. Sekilas wajahnya mengingatkanku pada Joaquin Phoenix, aktor yang main sebagai Commodus di Gladiator itu.

Yang aku tahu, namanya Bena. Bu Kosalia—biasa dipanggil Bu Kos, salah satu penghuni sini yang paling eksis (kalau segan menyebutnya supel)—beberapa kali menyebut namanya sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar. Mungkin bermaksud kenalan. Suaranya memang nyaring, sampai-sampai aku di lantai 3 mendengarnya jelas. Selain itu, Bu Kos selalu tak mau ketinggalan memperkenalkan diri setiap ada penghuni baru di rumah susun berlantai lima ini.

Bena. Nama yang cenderung aneh. Aneh ya karena jarang kudengar. Di kamus bahasa Indonesia ada kata 'bena' yang berarti ombak. Apakah namanya berarti sama dengan 'bena' itu? Tapi, Bu Kos menyebut sepenggal namanya 'Ben' seperti melafalkan 'band' dalam Bahasa Inggris. Bena di kamus bahasa Indonesia lafalan 'e'-nya sama seperti 'e' pada kata 'gendang'. Kupikir-pikir, janggal juga kalau menyebut Ben-nya seperti 'gendang'.

Sudahlah. Repot amat dengan pelafalan. Aku toh belum pernah berbicara dengannya. Boro-boro bicara. Melihat saja perlu pakai kebetulan, meskipun aku tidak percaya kebetulan, ya.

Waktu itu aku iseng ke lantai empat. Mungkin bukan iseng juga; ada sebersit niat. Aku melihat Bena melalui pintu yang sedikit terkuak. Cuma sebentar, sebelum ia menutup rapat itu pintu. Seperti terganggu oleh lirikanku. Ia sempat senyum saat menutup pintu seraya berbisik 'Hei' kepadaku. Ya, seingatku begitu. Namun 'hei' tersebut nyaris tak terdengar. Malah yang terlihat gerakan bibirnya saja.

Sayangnya, atau malah tidak sayang karena Tuhan Maha Adil, ia aneh. Kudengar Bu Kos—wanita paruh baya itu suka sekali bergosip—bilang kepadaku kapan itu sambil menawarkan kue kering bikinannya, si Bena itu aneh. Dia jarang sekali keluar, kumpul-kumpul sama yang lain.

"Diajak ngobrol aja jawabnya sebentar-sebentar. Kayak nggak tertarik bergaul, gitu. Nggak tahu tuh ngapain di kamar melulu. Kerjanya apa juga nggak jelas. Katanya sih kerja, tapi saya nggak pernah lihat dia keluar, berangkat kerja. Lha kerjamu apa, Ben? Dia bilang penulis. 'Nulis buku, Bu,' katanya. 'Buku apa? Boleh saya baca bukunya? Jarang-jarang loh kenal penulis di sini.' Tapi, dia nggak ngasih. Saya jadi ragu. Jangan-jangan emang pengangguran kali...tapi nggak mau ngaku."

Terus terang aku justru bingung dengan Bu Kos. Kok, mau tahu saja urusan orang lain. Lambat laun aku jadi tersugesti dengan omongannya kalau Bena itu aneh. Buktinya, sejak pembicaraan itu aku kerap memikirkannya. Rasa penasaranku malah merusak tebakan-tebakan baik yang mengarah ke negatif.

Ah, berhubung hari ini tidak ada kuliah, kupikir daripada tersugesti bulat-bulat, kusempatkan berkenalan dengannya.

*

Sebelum paras yang mirip Commodus itu terlihat, kakiku gemetaran. Sepanjang perjalanan menaiki tangga, pikiranku semrawut mengancam nyali agar ciut. Biasanya tidak begitu. Sebagai mahasiswi jurusan jurnalistik yang bergabung dalam pembuatan majalah kampus—reporter pula, aku dilatih memulai pembicaraan. Gugup itu selalu terjadi, tapi tidak separah ini. Membayangkan berhenti di depan pintu rumahnya, ketuk-ketuk pintu lalu mengemukakan alasan terasa menakutkan.

Ternyata aku tak perlu berhenti lalu mengetuk-ngetuk pintu rumahnya. Bena berdiri di ambang pintu. Entah ngapain dia di situ. Ia menyadari kemunculanku dan senyum ragu-ragu.

Lelaki Bermantel PanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang