Jalan Buntu

64 3 3
                                    

PROLOG

Rutinitas pagiku berlangsung ajek: bangun tidur, lihat jam, minum air putih, ambil koran di beranda, lalu menyalakan komputer; periksa ¬e-mail. Secangkir kopi kubuat setelah log in.

Mata masih berasa kelat saat kubaca pesan-pesan baru berhuruf tebal. Semua nama pengirim kuanggap asing karena nalar belum siap. Terang layar monitor perlahan membangkitkan otakku. O, sebagian besar pesan baru berisi respons novel baruku. Begitu terus hampir setiap hari-nyaris lupa aku pernah menulisnya.

Kuklik e-mail teratas. Wanita ini-namanya Btari-bukan menanggapi novelku. Dia tanya,

Mbak, bagaimana cara mengatasi writer's block [1]? Saya senang menulis, tapi setiap kali ceritanya hampir selesai, pikiran saya nge-block. Entah kenapa, ya, sudah beberapa minggu ini saya kena writer's block. Duluuu banget, kalo mandek, saya ubek-ubek album foto zaman sekolah, hehehe. Tapi sejak pindah rumah, saya merasa enggak butuh lagi. Saya kira rumah itulah cambuk baru buat inspirasi saya....

***

Jalan buntu itu tidak pernah ada sebelumnya. Setidaknya menurutku, tidak pernah ada di sini.

Siang tadi kusempatkan mampir ke kantor redaksi majalah Kolase. Sahabatku, Rina, staf redaksi di sana. Berhubung dari pagi sampai siang aku kuliah (meneruskan S1) dan kampusku pun cukup dekat dari sana, kusempatkanlah menemuinya. Kangen juga 2 bulan tak bertemu. Aku ke kantormu aja, ya, kataku di telepon. Dia setuju. Bukan kali ini aku ke kantornya, sampai-sampai hapal semua rekannya.

Pukul 19.00, aku pulang. Keasyikan ngobrol. "Aku pulang duluanlah, ya. Kalo diterusin makin ngawur nanti, hahahahaha...."

"Wah, sorry, kamu jadi kemaleman.... Aku anter sampe depan, gimana?"

"Alaah! Nggak usah. Kayak yang baru sekali ke sini aja, hehehe."

Begitulah. Aku lekas pulang.

Lalu, terjadi kesesatan ini. Masalahnya, aku justru tidak tersesat. Ini rute yang biasa aku tempuh dengan berjalan kaki. Dalam sepuluh menit, mestinya, aku sudah sampai di jalan utama tempat lalu-lalangnya kendaraan; salah satunya bus jurusan Bekasi, domisiliku selama 18 tahun.

Padahal, 3 menit lagi aku sampai, tetapi 3 menit tersebut sudah berlalu. Aku terheran-heran-mau tak mau cari rute lain. Percayalah, itu bukan rute yang kutahu betul. Biarpun sering bolak-balik kemari, aku belum pernah mengeksplorasi jalannya.

Lokasi kantor redaksi berdekatan dengan rumah warga. Yang kutahu cuma rute biasa: lurus 2 blok, belok ke kiri, lurus sedikit, ke kanan, luruuus terus sampai terlihat rumah bercat serbamerah, lalu belok kanan. Selama 2 minggu aku mengikuti rute itu, tapi hari ini, malam ini, setelah membelok ke kanan, aku berhadapan dengan jalan buntu.

***

Sejujurnya, aku selalu takut hal ini akan terjadi. Aku takut mati dengan cara seperti ini: tersesat di jalan buntu.

Malam semakin gelap. Lampu-lampu tinggi mulai menyala, menerangi sebagian jalan. Sedikit lega kulihat lampu tinggi di balik tembok ini.

Oya, aku tidak bisa kembali. Aku terjebak di tengah-tengah gang buntu. Di depanku tembok, di samping kiri-kananku tembok, di belakangku tembok-aku dikelilingi tembok! Aku terjebak di sini, dan tidak tahu mengapa!

Tidak adakah celah sesempit apa pun yang bisa membawaku keluar?

"Kita semua terjebak di sini," sebuah suara dari belakangku tiba-tiba saja menjawab. Aku kaget luar biasa.

Di belakangku berdiri seorang pria: tinggi, berkepala botak, berpakaian serbahitam, tampangnya dingin seperti vampir. Ia muncul dari kegelapan. Menyeramkan sebetulnya.

Lelaki Bermantel PanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang