Rinai (Dahulu: Hujan)

28 2 0
                                    

Hujan bulan Desember, 2013.

Charlie Chaplin dalam autobiografinya menulis, "I like to walk in rain so that nobody can see my tears." Aku belum pernah membaca buku itu langsung, kecuali membacanya entah di mana. Tak ada alasan khusus mengapa aku merujuk pada kutipan itu. Aku yakin banyak orang menyukai hujan dengan caranya masing-masing.

Namun, seseorang sehati dengan Chaplin, bahwa di bawah hujan air matanya saru hingga tak seorang pun tahu ia menangis. Aku merindukan orang itu sekarang.

***

Hujan menjelang malam tahun baru 2012.

"Nanti aja pulangnya, Anne. Sayang kalau mantelnya kebasahan, hehehe," kataku.

Roseanne meringis. "Kirain sayang orangnya. Gak perhatian, ah! Aku marah." Bibirnya dimanyunkan sesaat, lalu ia tertawa lepas.

Rambutnya yang ikal-panjang dicepol ke atas. Roseanne bersiap menerobos hujan. Gee. Akhir tahun, musim hujan. "Yakin nih nggak mau bareng?" tanyanya sambil memamerkan ekspresi menggoda di paras blasteran Jerman-Sunda itu.

Aku mengangguk. "No, thanks."

"Oke. Daaah!"

"Daaah!" balasku sambil melambaikan tangan¬ sementara wanita itu berlari-lari keluar gedung menghampiri mobilnya yang diparkir tak jauh dari lobi kantor.

Nanti malam perayaan tahun baru 2012. Pas betul tahun baru weekend. Aku kurang suka merayakan pergantian tahun. Berdiam di rumah lebih baik. Masak sekoteng buat Papi dan Ade sambil melewati malam tahun baru kurasa belum pernah kucoba sebelumnya. Setiap malam tahun baru, Mami memasak pai apel. Tapi, Mami sudah tak ada. Ah, Mami....

Sekoteng untuk tiga orang. Di rumah ada bahan apa ya? Kuingat-ingat apa di rumah ada roti dan biji kacang hijau. Selain susu kaleng dan roti, kurasa bahan-bahan lain tak ada.

Aku menembus hujan dengan jaket bertudung belaka menuju supermarket.

***

Sampai di rumah, aku melihat Ade duduk di sisi kolam ikan; hujan-hujanan. Bocah usia 5 tahun itu menunduk ke arah kolam.

"Ade! Jangan hujan-hujanan! Ayo, masuk!" teriakku seraya menarik anak itu berdiri.

Ade tak berontak. Tumben. Ia hanya menatapku sesaat, lalu masuk sendiri ke rumah.

Kubantu Ade mengganti kaos dan celana pendeknya, menyeka rambutnya dengan handuk, dan mengoles minyak kayu putih pada perut dan punggungnya, tiga kali. Ade sangat suka minyak kayu putih—ia selalu memintaku mengoleskannya berkali-kali ke perut serta punggung.

"Api mana?" Api adalah panggilan sayang untuk Papi.

"Di kamar. Tadi Api cari tali ke dapur."

Aku mangu. Papi cari tali buat apa?

"Oh. Ade sudah makan?"

Ade menggeleng.

"Mau sekoteng?"

"Sekoteng itu apa?"

"Roti dicampur susu anget, kolang-kaling, pokoknya enak deh dimakan hujan-hujan gini. Mau?"

Ade mengangguk.

"Asyik! Sekalian bantuin Nai masak gimana?"

Ade mengangguk lagi dengan semangat. Senyum senang terpulas di bibirnya. Kugandeng dia dengan tangan kananku sementara tangan kiri menggenggam belanjaan bahan sekoteng.

"Api lagi tidur, De?"

"Nggak tauk. Dari siang belum ke luar kamar."

Aku terhenti dari kegiatan mengeluarkan bahan belanjaan dari plastik. Perasaanku tak enak. "Ade tunggu sini, ya. Nai lihat Papi dulu."

Lelaki Bermantel PanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang