Ia yakin beberapa menit yang lalu ia masih berada di dalam kamarnya, memeluk sebotol minuman untuk menghilangkan dahaga. Sekarang, tungkainya menuntun gadis yang setengah mengantuk ke sebuah ruangan menyilaukan. Ruangan itu diselimuti cahaya putih bersih, menjadikan keraguan menyelimuti perasaannya untuk mengambil beberapa langkah ke depan.
Pintu ruangan itu perlahan terbuka, menimbulkan bunyi berderit pelan. Tungkainya kembali melangkah karena penasaran. Kedua netranya masih harus beradaptasi dengan pencahayaan yang seolah menusuk langsung retinanya.
Samar-samar, ia melihat sosok lain yang berbaring di atas tempat tidur khas rumah sakit. Ia mengerjapkan matanya. Pasti salah. Ia hanya ingin pergi ke dapur untuk mengambil minum, bukannya masuk ke ruangan aneh itu.
Cklek. Pintu kembali terbuka, menampakkan sosok pemuda berkulit putih susu yang lama tak dijumpainya. Penampilannya membuat pemuda itu terlihat seperti seorang dokter. Ia tahu, pemuda itu adalah sang pemimpin. Tapi, mengapa ia bisa ada disini?
Pemuda itu berjalan menghampirinya. Dahinya membentuk dua garis kerutan. Seolah-olah tidak menyadari kehadirannya, pemuda itu hanya fokus pada seorang pasien yang terbaring lemah di atas tempat tidur.
"Siapa itu?" Naeun mencoba bersuara. Pemuda itu masih tidak menggubrisnya; menggeleng; berjalan mengitari tempat tidur.
Tak lama kemudian, seseorang lainnya masuk, disusul teman perempuannya. Naeun memandang mereka bergantian bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Maafkan aku. Itu salahku karena mengajak—"
"Diam," sela si perempuan. "Ini semua salahku. Aku menyuruhnya untuk membantuku."
"Yah, intinya aku juga bersalah, kan?"
"Diam!" pemuda berpenampilan dokter itu menengahi dengan suara tegasnya. "Aku melihat apa saja yang kalian lakukan di sini. Aku tidak sebodoh itu."
Si perempuan mendesah kesal. Kedua tangannya terkepal. Kakinya seperti hendak dihentakkan, namun ia berhasil menahannya.
"Kami sudah berbicara dengannya. Kau hanya melihat, bukan mendengar." sangkal si perempuan. Pemuda satu itu menggeleng. "Ya, kau benar. Tapi aku sudah memiliki cukup bukti."
"Jangan berisik, aku tahu bocah itu mendengar percakapan kita!" tak sabar, suhu di sekeliling laboratorium memanas karena amarah si pemuda kedua. Naeun menahan napas, perlahan melangkah mundur menjauh dari mereka bertiga. Lama-kelamaan, yang hanya bisa ia lihat hanyalah kobaran api yang semakin membesar.
.
"Kita harus kembali ke Orion." ujar Naeun tidak sabar pada semua orang yang berkumpul di perpustakaan. Gadis itu hampir kehabisan kesabarannya. Tak ada satu pun yang menanggapi perkataannya. Semua membisu. Hanya mata mereka yang merekam seluruh pergerakan gelisah darinya.
"Tak ada yang mau membantuku? Baiklah. Aku akan pergi sendiri."
"Jangan bertindak gegabah, Naeun." Myungsoo akhirnya angkat bicara. Suaranya menyiratkan bahwa dirinya mengkhawatirkan gadis itu juga marah dan kecewa karena tak menyangka seorang Naeun akan berkata demikian.
"Kau kira semudah itu bisa kembali ke Orion? Apalagi—"
"Myungsoo, aku pikir kau mengerti bagaimana rasanya dihantui oleh mimpi-mimpi itu. Aku merasa inilah saatnya."
"Saat, apa?"
"Mimpi itu akan terus berdatangan dalam tidurku." lirih Naeun. Matanya melirik Yookyung yang membisu.
Myungsoo mengikuti arah lirikannya, menebak ada rahasia apa diantara mereka berdua.
"Tapi tenang saja," Naeun memaksakan diri untuk tersenyum. "Aku tidak akan takut pada mimpi-mimpi itu. Aku mengerti posisiku sekarang. Jika mimpi-mimpi itu bisa memprediksi masa depan, Orion sangat membutuhkanku sebagai informan. Itu sebabnya aku harus kembali ke sana. Mengerti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ORION [ APINK - INFINITE - EXO - BAP FANFICTION ]
FanfictionOrion Academy, adalah akademi yang terletak di bawah tanah. Tepat di bawah ibukota Korea Selatan, Seoul. Tidak banyak orang yang tahu tentang akademi ini, karena Orion Academy bukanlah tempat untuk sembarang orang; hanya orang-orang berkemampuan khu...