6

499 33 0
                                    

Naeun's POV

Flashback.

Semuanya terasa amat nyata bagiku. Meski memori itu perlahan menghilang, tapi sentuhan hangatmu tak akan mampu membuatku lupa akan kasih dan semangat yang telah kau berikan padaku.

Kuakui aku memang lemah. Menangis hanya karena dibentak oleh saudaraku sendiri. Menyalahkan diriku akan kemampuan aneh yang bahkan tidak aku ketahui, apalagi kendalikan. Mungkin Dongwoon oppa benar, sebaiknya aku pergi jauh dari rumah. Sebaiknya aku tidak tinggal dengan mereka. Hidup sendiri mungkin lebih baik. Ibu dan ayah mungkin masih bisa memaklumiku. Mereka bisa saja bernasib sama seperti Dongwoon oppa, dihantui oleh mimpi-mimpi aneh yang tanpa sengaja kukirimkan. Jelas terlihat saat mereka bertanya bagaimana malamku, apakah aku tidur nyenyak atau tidak. Justru kesabaran mereka membuatku merasa lebih terbebani. Aku tahu mereka berusaha mati-matian menyembunyikannya. Aku tahu. Alangkah lebih baik jika aku disingkirkan sejak sekolah menengah pertama, ikut dengan saudaraku yang berada di Incheon. Yang juga bernasib sama sepertiku; diasingkan oleh keluarga sendiri.

"Naeun?" panggil Myungsoo dengan suara yang tak pernah gagal membuatku merasa lebih tenang.

"Iya?" sahutku, masih dalam posisi yang sama; memeluk kedua lutut yang ditekuk. Aku tersenyum ke arahnya, mengisyaratkannya untuk duduk di sampingku.

"Kau menangis lagi." ujarnya tanpa menatapku. Aku membuang napas. Bisa tidak sih, lelaki ini tidak membuat pernyataan seperti itu? Myungsoo sudah sering melihatku menangis, dan hal pertama yang ia ucapkan selalu sama. Aku mulai berpikir kalau ia kehabisan kata-kata, tak tahu ingin merespon apa saking seringnya aku mencurahkan seluruh keluh kesahku padanya. Dan aku tidak bisa mengeluh padanya. Karena ia adalah satu-satunya teman yang tak menganggapku remeh seperti orang lain.

Bukan itu yang ingin kuceritakan padamu, Myungsoo. Aku tidak ingin mengulang cerita bagaimana Dongwoon oppa dengan kasar membentakku, meneriakkanku dengan kata-kata yang tak pantas, menyebutku dengan anak aneh. Aku tidak lagi secengeng itu. Tidak, mulai dari detik ini. Aku ingin Myungsoo melihatku sebagai gadis yang kuat di masa depan, tidak cengeng seperti Son Naeun yang sekarang.

"Aku menyayangimu," ujarku dengan kepala yang tertunduk. Aku tidak ingin melihat ekspresi Myungsoo. Entah itu ia akan menertawaiku, atau salah paham akan ucapanku. Aku hanya ingin mengatakan hal yang seharusnya aku katakan. Sebelum aku tak lagi memiliki kesempatan untuk bertatap muka dengannya.

Hening sejenak. Aku belum melanjutkan kalimatku, begitupula dengan Myungsoo yang masih membisu. Kuberanikan diri untuk meliriknya walau hanya sedetik. Sungguh, aku akan menghajar Myungsoo jika berani menertawaiku.

"Apakah itu sebuah pernyataan...ungkapan?" Myungsoo menoleh. Aku harap pipiku tak bersemu. Puji syukur karena yang menemani kami di langit saat ini adalah bulan dan bintang, bukannya matahari.

"Naeun?" panggil Myungsoo lagi.

"Ah, bukan itu!" aku menggeleng cepat. "Bukan seperti seseorang yang mengungkapkan perasaannya. Hanya saja.. Aku pikir aku memang harus melakukannya. Tunggu, Kim Myungsoo. Jangan salah paham dulu!" aku mengacungkan telunjuk tepat di depan hidungnya. Tapi lelaki berlesung pipi itu malah tertawa lebar.

"Kau ini sangat lucu, Naeun-ah." tangannya yang besar menyentuh pucuk kepalaku, mengelus rambut panjangku. Ya Tuhan, bagaimana caranya aku mengucapkan salam perpisahan padanya?

"Myungsoo-ssi. Sudah jam 9 malam. Sebaiknya aku pulang sekarang kecuali kau tidak keberatan mau menampungku semalaman di rumahku." aku beranjak dari dudukku, membersihkan bagian belakang rok yang kotor karena duduk di rerumputan. Aku harus segera pulang sebelum Dongwoon oppa menyuruh Jihoo ahjussi mengunci gerbang. Tidak mungkin menginap di rumah Myungsoo, karena aku tidak suka dengan sepupunya, Kim Jongin. Playboy kelas kakap.

ORION [ APINK - INFINITE - EXO - BAP FANFICTION ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang