***
New York, 6 September
“Cuma nonton, engga ngapa-ngapain,”kata Sesar.
Shaina mendengus. “Cuma nonton? Kaya gue engga tau pikiran elo aja!”
Sesar sudah tidak tahu lagi cara membujuk Shaina agar ikut dengannya ke Port Imperial Circuit untuk menonton balapan Rehan hari ini. Sesar tahu kalau sikap Shaina berubah setelah makan malam itu, dia sering mengumbar senyuman palsu. Dia juga tahu kalau Marcel sudah melamar kakaknya namun kakaknya tidak menerimanya, dia tahu kalau Shaina masih menyimpan perasaan pada Rehan. Tapi kakaknya itu terlalu naïf untuk mengakuinya.
“Mumpung di New York, Kak. Gue janji abis ini engga akan ngomongin tentang dia lagi,”kata Sesar, namun Shaina malah melengos sambil merapikan alat-alat tulis di mejanya. Sesar memutar bola matanya. “Kak, anggep aja ini cuma basa-basi sebagai temen lama,”
Shaina duduk di pinggir tempat duduknya. “Justru itu…”kata Shaina pelan. “Karna gue engga bisa nganggep dia sebagai temen. Mungkin elo engga pernah tahu alesan gue selalu bersikap ketus dan kesel kalo ada yang ngomongin Rehan,” Shaina menghela nafas. “Karna sedikitpun gue engga pernah lupa dan sampe saat ini perasaan gue masih sama kaya dulu. Tapi gue tau ini engga akan bisa,” Shaina menganggkat tangan kirinya. “Elo liat cincin ini? Bahkan cincin ini engga ngebantu apapun.”
Sesar duduk di samping Shaina dan merangkulnya. “Kak… Maaf gue engga maksud,”
Shaina menatap Sesar dan tersenyum. “Gue ikut. Tunggu satu jam lagi, gue siap2 dulu,”kata Shaina, dia beranjak dari duduknya.
Sesar ikut tersenyum. “Marcel juga ikut, dia udah lagi jalan kesini,”
Shaina menoleh. “Ya udah elo temenin dia ngobrol aja dulu nanti,”
Sesar mengangguk lalu keluar dari kamar Shaina.
***
Matahari cukup panas hari ini, apalagi memantul pada aspal sirkuit yang pasti membuat mata silau dan badan terasa panas, aneh padahal ini awal musim gugur tapi terasa seperti awal musim panas. Rehan dan pembalap lain sudah ada di posisi masing-masing sesuai kualifikasi kemarin dengan para kru dan umbrella girls yang mengelilingi mereka. Rehan belum memakai helmnya dan tatapannya sedari tadi menyapu seluruh tribun penonton.
“Elo pikir elo punya tatapan superhero?”kata Edwin yang mengagetkan Rehan. “Penonton bejibun gini, mana bisa elo merhatiin satu-satu dan nyari Shaina.”
Rehan menerima helm dari salah satu umbrella girls dan memakainya. “Liat bukan cuma pake mata. Pake hati juga.”
Edwin mengangguk pasrah. “Elo udah tahu kan teknik-teknik balapannya. Di Malaysia elo dapet tropi perunggu, disini minimal elo harus dapet perak,”kata Edwin. “Gue yakin kalo elo pembalap professional, engga terpengaruh sama situasi hati lo. Elo bukan cuma bawa nama baik Rehan Prambudhi, tapi Indonesia.” Kalimat terakhir itu yang selalu Edwin katakan sebelum balapan di mulai
“Iya gue selalu inget. Thanks.” Rehan tersenyum dan menepuk pundak Edwin.
Para kru mulai meninggalkan lintasan sirkuit, hanya tinggal para pembalap saja yang sedang menggas untuk memanaskan mesin motornya yang membuat suara gemuruh.
“Gue harus menang, karna gue yakin Shaina ngeliat,”gumam Rehan.
***
Shaina, Marcel dan Sesar berjalan menyusuri tribun penonton yang sudah cukup ramai. Mereka memakai sunglass hitam. Setelah menemukan tempat yang cocok dan nyaman, mereka bertiga langsung duduk dan melepas sunglass mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shaina De Amore
Teen Fiction-Semuanya jatuh cinta. Aku jatuh cinta, kau jatuh cinta, dia jatuh cinta dan mereka juga jatuh cinta. Tapi apakah kita masih akan saling jatuh cinta jika salah satu dari kita pergi dan menghilang? Apakah kita akan tetap seperti itu sementara hal itu...