Kulepas semua pakaianku dan masuk ke bathup air hangat, hari ini kuputuskan untuk tidak membuka jendela. Tanganku mengusap jendela yang tertutup uap air hangat, halaman dan seluruh hutan Crest forest tertutup kabut tebal. 'Tidak seperti biasanya.' Pikiranku melayang pada kejadian kemarin malam, kurasakan wajahku memanas dan merah pastinya. Kucelukan seluruh kepalaku kedalam bathup, ketika tiba-tiba muncul suara berderit yang nyaring seperti sesuatu menggores kaca jendela kamar mandiku. Kusentakkan kepalaku, air hangat masih menetes dari rambutku ketika kurasakan seseorang di belakangku. Kulihat Morgan di belakangku dengan posisi siaga, tangannya memegang sebuah pedang panjang dan ramping. Matanya berubah menjadi hijau kelam, memandang lurus di rimbunan pohon dan kabut di balik jendela. Celemek biru tuaku yang bergambar cookie monster masih menempel menutupi kemeja biru kotak-kotaknya. "Morgan" panggilku lirih.
"Ada Gultor disini" Ia tidak mengalihkan pandangannya dari kumpulan pohon-pohon pinus yang tertutup kabut tebal. "Sial mereka bukan Gultor biasa" Ia menggeram pelan.
"Oh, bagaimana jika aku berpakaian dulu?" Aku mulai menggigil.
"Yeah.. silahkan" balasnya tak peduli, matanya belum berpindah.
"Ya ampun, maksudku bagaimana kalau kau ke-lu-ar dulu? Aku akan berpakaian." Gerutuku.
"Tidak, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak akan mengintip. " jawabnya datar, melirikku sebentar lalu kembali siaga.
"Yeah, tentu saja aku akan berpakaian di depanmu." Ujarku sewot.
Ia menatapku sebal, "30 detik." Katanya sambil keluar dari kamar mandi.
Aku melompat dari bathup, mengeringkan badanku, mengenakan kaos abu-abu longgar dan celana jeans lalu membuka saluran air bathup agar airnya mengalir. Sejenak mataku menangkap bayangan hitam yang berdiri di salah satu cabang pohon pinus. Tubuhku membeku, 'Gultor.'
Pintu kamar mandi dibelakangku terbuka lebar, Morgan ada di sebelahku dalam sedetik. Aku mengalihkan pandangan sejenak, Gultor itu telah menghilang. "Dimana kau melihatnya?" tanyanya gusar. Tanganku menunjuk salah satu pohon pinus tempat Gultor itu berada tadi. Morgan menarik tanganku menuju dapur, ia mendorong sepiring panekuk saus coklat kearahku. Aku menarik salah satu tempat duduk di meja makan, memandanginya mondar-mandir di sekitar dapur. "Kau belum cerita" desakku, Ia hanya memandangku sekilas lalu kembali mondar-mandir di sekitarku. Lalu ia duduk di seberangku, "Kemarin aku bertemu Gultor, di jantung Crest forest." Aku terdiam, memandangnya, menunggunya meneruskan ceritanya. "Hanya satu, kukira ia hanya Gultor muda. Mereka sudah mulai merasakan kehadiranmu Claire, mereka menginginkanmu. Dan Gultor yang muncul, bukan Gultor biasa."
"Claire..." Tambahnya, "Aku harus menemui Dane dan Emily setelah ini, semakin banyak jumlah kita itu akan semakin membantu." Morgan menatap mataku.
Aku sudah melupakan mereka, tiba-tiba sakit hati itu kembali lagi. "Ayolah Claire, jangan mulai lagi." Morgan mengerang pelan.
"Mulai apa!" bentakku.
"Aku bisa merasakannya! Semuanya, setiap rasa bencimu, setiap rasa sakitmu. Aku juga merasakan."
"Aku tidak memintamu untuk merasakannya juga. Pergilah." Aku meremas sendok yang kupegang.
"Kumohon Claire. Aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian." Kali ini matanya memancarkan permohonan.
Aku menatap panekukku cukup lama. "Baiklah." Ujarku lirih.
"Habiskan dulu panekukmu."
***
Kami memutuskan untuk mengunjungi Dane dan Emily pada malam hari.
Morgan membuka pintu rumahnya, aku melihat Emily tersenyum lebar menyambutku dan Morgan. Emily, bagaimana aku mendeskripsikannya? Berdiri di sebelahnya membuatku agak minder. Tubuhnya tinggi, terlihat rapuh seperti kaca, cantik luar biasa, lembut, suaranya tinggi dan merdu. Mungkin sebutan Valerina lebih cocok dengannya. Rambut keemasannya yang panjang dan ikal selalu tertata rapi, mata coklat hazelnutnya, tentu saja sama dengan Dane. Memandang matanya sama dengan memandang Dane. Mungkin dia akan menjadi tipe cewek populer di sekolahku. "Claire!" Ia tersenyum tambah lebar. Aku membalasnya dengan senyuman kecil, berusaha melupakan siapa dia dan menekan perasaan sakit hati ini. Morgan menatapku sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke Emily, "Dane?". "Oh dia berada di dapur." Katanya sambil menuju ke dapur, kami mengikuti dari belakang.
