Kota Hujan, 2005.
- - -
“Rok gue di mana?!”
Dalam sekejap, anak-anak yang tadinya sedang sibuk berganti baju olahraga jadi menoleh, menatap bingung ke arah cewek dengan rambut sebahu acak-acak yang tadi berteriak.
Cewek itu—Dila—mendesah panjang. Ia melongok ke dalam laci meja sekali lagi lalu menghempaskan tubuhnya di kursi dengan lunglai.
Tadi pagi, Dila ingat betul kalau ia sudah memasukkan baju seragam lengkap dengan rok pendek abu-abunya ke dalam kantung plastik hitam yang ia taruh di laci meja. Tapi sekarang, begitu pelajaran olahraga berakhir dan ia berniat untuk ganti baju, tiba-tiba saja rok pendek abu-abu Dila raib. Hilang entah kemana. Dila jadi curiga ada tangan-tangan iseng yang menyembunyikan rok abu-abunya itu.
“Dila! Ayo, ganti baju!” seru Ina dari ambang pintu kelas. Tangannya sudah siap sedia mendekap baju seragam, berniat untuk ganti baju bersama anak-anak cewek yang lain di toilet putri dengan terpaksa.
Padahal, biasanya anak-anak ceweklah yang selalu mengusir para cowok dan menyuruh mereka untuk ganti baju di luar. Tapi ternyata sekarang, anak-anak cowok itu justru berontak dan menuntut emansipasi pria agar tidak lagi diperbudak oleh wanita.
“Rok gue ilang, Inaaa. Gak tau ada di mana. Gimana dong?” Dila merengek sembari mengentak-entakkan kakinya gemas. Terlebih lagi begitu melihat salah satu teman sekelasnya mulai cuek membuka celana olahraga tanpa sedikit pun peduli sekitar, Dila jadi makin bete dibuatnya. “Anwar! Gue masih ada di sini!” pekik Dila kesal.
Anwar menaikkan sebelah alis, tapi tak urung tetap menurunkan celananya. Begitu melihat mata Dila masih terfokus pada dirinya walaupun ia sudah sepenuhnya membuka celana, Anwar langsung tergelak dan berseru. “Ha! Lo pasti kecewa kan gak bisa ngintipin kolor gue?” ujar Anwar riang, menunjuk boxer bermotif bunga-bunga yang dipakainya dengan bangga.
Dila kontan melotot. “Idih!”
Anwar, cowok petakilan yang nyaris dibenci cewek-cewek satu kelas karena sifat isengnya yang minta ampun. Selain hobi bikin tensi anak-anak cewek naik, cowok itu juga yang telah menyebarkan virus pecicilan pada cowok-cowok kalem dan alim di kelas. Entah cowok itu pake jampi-jampi apa. Yang jelas, hampir semua cowok di kelas tunduk pada Anwar yang setiap harinya doyan buat huru-hara di mana pun.
Dan bukan cuma itu, Anwar juga bahkan pernah mengenakan bra ke sekolah akibat bermain truth or dare bersama teman-temannya. Cowok itu emang benar-benar sinting banget. Dila jadi sangsi kalau Anwar bakalan punya pacar ke depannya.
“War, liat, War!”
Bimo—yang punya sifat sebelas dua belas dengan Anwar—tiba-tiba saja berteriak nyaring sambil ikut-ikutan membuka celana olahraganya, menampilkan boxer berwarna merah muda dengan motif bunga-bunga persis seperti milik Anwar. “Kita jodoh, bro!”
Seluruh anak sontak tertawa, tak terkecuali Ina yang masih berdiri di ambang pintu. Dengan tatapan geli sekaligus takjubnya, Anwar berjalan menghampiri Bimo lalu ber-high five dengan cowok itu.
“Beli di mana tuh boxer?” tanya Anwar geli.
“Biasa, di Tanah Abang. Sepuluh ribu dapet tiga.”
Setelahnya, kedua cowok itu mulai asik membicarakan hal absurd lainnya yang mengundang tawa seluruh anak di kelas. Dila bahkan sampai lupa kalau ia harus ganti baju sebelum bel pergantian pelajaran berbunyi.
“Dila, ayo ih cepetan!” Ina kembali berseru tak sabar, sukses membuat fokus Dila kembali pada rok abu-abunya yang hilang.
Putus asa, Dila pun menghela napas pasrah lalu bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kelas bersama Ina, meninggalkan anak-anak cowok di belakang yang masih heboh membuat keributan dengan Anwar dan Bimo sebagai komandonya.
“Na, gimana nih? Masa iya gue pake seragam tapi bawahannya celana olahraga?”
“Ya lo emang naro seragamnya di mana? Lupa nyimpen kali.”
“Aduh, Inaaaa!” Dila menghentikan langkah dan menggaruk kepalanya depresi. “Gue tuh masih inget bener kalo gue naro itu rok di dalem kresek, terus gue simpen di laci meja. Orang baju seragamnya aja masih ada kok, masa iya roknya tiba-tiba raib? Gue curiga kayaknya ada yang ngumpetin deh.”
Ina ikut menghentikan langkah lalu menatap Dila sama herannya. “Ya tapi siapa? Anwar? Bimo? Iya sih, mereka biang kerok kelas kita. Tapi kan lo tau sendiri anak-anak enggak ada satu pun yang balik ke kelas sebelum olahraga kelar.”
“Ya makanya itu, gue bingung!” Dila mendengus keras sembari mengalihkan pandangannya dari Ina, menatap ke arah lapangan yang entah kenapa dipenuhi oleh beberapa siswa asik cekikikan.
Dila mengernyit bingung. Kalau bukan karena ada hal yang menarik, enggak mungkin anak-anak itu rela berdiri dan berkerumun di tengah lapangan. Apalagi saat siang bolong seperti ini dan matahari sedang terik-teriknya.
“Na, itu mereka pada ngapain, ya?” tanya Dila penasaran.
Ina mengangkat bahu, sama penasarannya. “Enggak tau deh.”
Melihat anak-anak itu sedang menertawakan sesuatu sambil mendongak, Dila tanpa sadar mengikuti ke mana arah pandang mereka tertuju. Tidak sampai satu detik, mata Dila pun sukses terbelalak saking kagetnya.
Rok gue!
Saat ini, di tiang bendera setinggi delapan meter, tengah berkibar sebuah rok span abu-abu pendek yang ternyata merupakan sumber dari berkumpulnya anak-anak. Yang lebih parahnya lagi, Dila amat-sangat-yakin bahwa itu adalah rok abu-abu miliknya yang telah hilang!
Langsung saja, tanpa tedeng aling, Dila segera melangkah panjang-panjang ke tengah lapangan dan membelah kerumunan. Ditinggalkannya Ina di belakang, tak peduli. Dila harus menemukan siapa pelaku kurang ajar yang iseng mengikat roknya di tiang bendera.
“Kerjaan siapa nih?!” ujar Dila kalap.
Tak lama kemudian, salah satu anak menyahut, lengkap dengan cengiran geli yang terpampang jelas di wajahnya.
“Delo. Dia bilang, dia mau latihan jadi pengibar bendera.”
Cowok itu lagi!
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Elegi
Teen FictionMencuri umpan bola dari lawan? Itu sih gampang! Mencuri mangga tetangga sebelah? Duh, cetek banget. Tapi mencuri perhatian Dila? Delo harus mati-matian jungkir balik supaya cewek itu bisa meliriknya barang sedetik saja. Orang bilang, balikan dengan...