Chapter 05

48.5K 4K 183
                                    

Hari ini merupakan pekan UTS. Mau tak mau, karena hal itu, setiap murid terpaksa harus menempati kelas yang berbeda dan duduk semeja dengan anak lain. Dila pun sama. Cewek itu kebagian menempati gedung di lantai dua, tempat anak-anak kelas sepuluh biasa berada.

Setelah berkeliling mencari ruang kelasnya, ragu-ragu, Dila melongokkan kepala ke dalam ruang kelas yang akan ditempatinya selama UTS seminggu ke depan. Tampak anak-anak sedang sibuk membaca buku sedangkan yang lainnya asik berkumpul dan mengobrol pada satu meja.

Langsung saja, Dila segera menghampiri tempat di mana teman-teman sekelasnya berada lalu menepuk pundak Ina keras.

"Na, gue duduk di mana?" tanya Dila langsung, mengedarkan pandangan ke seisi kelas yang setengahnya sudah dipenuhi oleh murid-murid dari kelas lain.

"Tuh, lo duduk di sana." Ina mengedikkan dagunya ke arah bangku Dila yang terdapat di tengah-tengah ruangan. "Sama cowok."

"Cowok?" Dila mengernyit. "Adek kelas?"

"Bukan, kelas dua belas IPS. Angkatan kita tuh muridnya kebanyakan, jadi mau enggak mau harus duduk sama anak kelas dua belas lagi."

Dila manggut-manggut mengerti. Sejurus kemudian, cewek itu berjalan menghampiri tempat duduknya dan menaruh tas di atas meja. Cowok yang jadi teman semeja Dila saat ini tampaknya sedang tertidur, dilihat dari kepalanya yang telungkup di atas meja dan napasnya yang teratur.

Tanpa memedulikan Ina dan teman-teman sekelasnya yang mengobrol di pojokan, Dila memilih untuk duduk di kursinya dan membaca buku. Tapi tiba-tiba saja, cowok yang jadi teman semeja Dila itu bergerak. Dila pun refleks mengalihkan pandangan dari buku dan menatap cowok di sebelahnya penasaran.

Cowok itu sempat mengucek matanya sebentar sebelum akhirnya menegakkan punggung dan menoleh ke arah Dila. Dila juga sama. Pandangannya masih tertuju lekat pada cowok di sampingnya, menyebabkan kedua bola mata hitam itu saling mengunci dan beradu selama sekian detik.

Tanpa ada perubahan ekspresi yang berarti, cowok di samping Dila itu mulai membuka mulut. "Dila, kan?"

Dila tak langsung menjawab. Cewek itu terlihat seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.

"Iya, kan? Dila?"

Detik berikutnya, sesuatu seperti memukul Dila telak. Dila akhirnya ingat siapa cowok yang jadi teman semejanya kini.

"Iya. Dila," kata Dila hati-hati. Tatapannya awas. Raut wajahnya pucat.

Cowok itu tersenyum. "Be cooperative ya, Dil."

Glek. Dila menelan ludah. Situasinya kini sedang dalam siaga tiga.

• • •

Ardian Nadhif.

Nama itu emang enggak asing lagi di telinga Dila. Selain karena tampangnya yang termasuk ke dalam jajaran cowok oke di sekolah, Nadhif juga merupakan salah satu murid cowok setipe Anwar dan Bimo. Hobi buat kericuhan, doyan bikin huru-hara.

Bedanya, kalau Nadhif yang cari masalah, reaksi anak-anak cewek paling cuma menggerutu sesaat. Tapi kalau Anwar-Bimo yang cari masalah, anak-anak cewek justru bakalan jadi makhluk kanibal terganas yang pernah ada.

Selama ujian dimulai sejak pukul tujuh tadi pagi, Dila enggak pernah bisa berhenti bergerak. Sekarang sudah masuk mata ujian kedua. Pelajaran MTK. Tinggal sepuluh menit lagi bel tanda waktu habis dibunyikan, namun seperempat nomor di LJK Dila masih juga kosong.

Cewek itu sama sekali enggak bisa berpikir. Konsentrasinya buyar. Fokusnya hilang. Dikit-dikit mata Dila melirik ke arah LJK Nadhif. LJK cowok itu sudah hampir terisi penuh. Dan sekarang, Nadhif sedang asik cengar-cengir sambil seru berpantonim dengan temannya yang duduk di seberang.

Iya, berpantonim. Mulutnya terkatup rapat sementara jarinya aktif bergerak membentuk bermacam-macam angka. Bisa ditebak kan kalau cowok itu sebenarnya lagi apa?

Merasa diperhatikan, Nadhif yang tadi sibuk dengan temannya kontan menoleh lalu menatap Dila. Setelah menghitamkan jawaban di LJK, Nadhif lantas mengambil kertas coretan Dila lalu menulis sesuatu di sana.

Kenapa? Mau gue bantuin nyari contekan?

Dila refleks melotot membaca tulisan Nadhif. Cewek itu kemudian beralih menatap si penulis dan menggeleng cepat.

Kok dari tadi ngeliatin mulu? Tulis Nadhif lagi. Lo mau ngaduin gue ke guru?

Kali ini, mata Dila sukses melebar dua kali lipat dari sebelumnya. Dila mendadak panik. Terlebih lagi saat Nadhif mulai menunjukkan tatapan mengintimidasinya, nyali Dila jadi semakin ciut.

Iya, sih, dari tadi Dila memerhatikan gerak-gerik Nadhif terus, tapi bukan itu tujuannya. Dila sama sekali tidak punya niat untuk mengadukan Nadhif pada guru yang mengawas. Cewek itu punya alasan tersendiri kenapa dari tadi dia dikit-dikit melirik ke arah Nadhif.

Astaghfirullah! Nggak boleh suudzon gitu! Akhirnya Dila membalas tulisan Nadhif.

Terus kenapa? Itu LJK lo masih banyak yang kosong.

Dila cemberut. Cewek itu jadi teringat lagi dengan seperempat nomor yang belum terisi sampai sekarang. Tanpa sempat membalas tulisan Nadhif, Dila kembali berusaha fokus pada soal-soal di hadapannya.

Yang Dila enggak suka dari MTK tuh gini. Selain boros waktu karena ada banyak angka yang harus dihitung, MTK juga bikin para murid jadi boros kertas coretan. Sebenarnya, masalah boros waktu dan boros kertas itu masih bisa dimaklumi. Yang paling enggak bisa ditoleransi itu, saat udah capek-capek ngitung, tapi ternyata jawabannya enggak ada di pilihan! Boros tenaga dan pikiran banget!

Di tengah seriusnya mengira-ngira mana pilihan yang benar, bel tanda waktu habis mendadak berbunyi. Dalam sekejap, suasana kelas menjadi ricuh. Anak-anak seketika panik. Mereka terpaksa menghitamkan jawaban dengan asal sebelum pengawas berkeliling untuk mengambil LJK secara paksa.

Dila juga sama. Cewek itu buru-buru melakukan cap-cip-cup untuk menentukan mana jawaban yang benar.

Tak lama kemudian, guru pengawas sampai di meja Dila. Beliau langsung mengambil LJK milik Nadhif dan Dila tanpa ampun. Untung saja keduanya sudah selesai menghitamkan jawaban di detik-detik terakhir pengawas menarik lembar jawaban.

"Lo kalau enggak bisa bilang aja. Entar gue cariin contekan buat yang soal anak IPA. Santai aja kalau sama gue," celetuk Nadhif tiba-tiba, seperginya pengawas dari kelas.

Dila mengembuskan napas berat. Tubuhnya bersandar pada kursi dengan lunglai. "Pusing gue," ucap Dila lesu.

Nadhif tertawa. "Muka lo udah kayak orang mabok tau."

"Gue emang ma—"

"Dila!"

Belum sempat Dila menyelesaikan kalimatnya, seruan keras barusan telah berhasil menginterupsi. Dila kemudian menoleh, menemukan Delo tengah tersenyum di ambang pintu kelas lengkap dengan ransel yang melekat di punggungnya.

"Jemputan, Dil?" ujar Nadhif tiba-tiba, menyeringai mengejek.

Dila meringis pasrah. Inilah yang ia khawatirkan sejak tadi. Berada di dekat Nadhif, sampai bahkan satu meja dengannya, entah kenapa membuat Dila merasa waswas sendiri.

Karena Nadhif dan Delo, merupakan musuh sejak dulu.

ElegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang