Dihan (2)

348 19 5
                                    

Berhenti bersaing dengan Moona, tapi tetap mengejar Gala. Ya, itulah aku!

Okay, biar kuluruskan. Gala memang tidak single. Dan kekasihnya, Wedka, memang nun jauh disana. Aku tak ingin jadi orang ketiga diantara mereka, bagaimana pun, jadi orang ketiga merupakan situasi sulit. Aku disini berdiri untuk menunggu. Menunggu dan menunggu, sampai takdir itu datang. Takdir yang mengatakan bahwa Gala dan Wedka harus berpisah, dan Gala menyadari adanya kehadiranku disini. Lalu, kapan ia sadar? Entah. Lagipula, aku hanya ingin jadi bestienya! Ih, apa yang sedang kubicarakan! Aku berharap mereka langgeng tapi aku tetap jadi bestie Gala, itu saja!

Gala, oh, Gala. Entah apa yang sedang kuharapkan darimu sekarang.

**
Panas sekali hari ini. Sudah musim kemarau, rambutku tergerai lepek, seragamku yang rada mengecil buatku tampak tidak fresh. Hari ini ada perlombaan yang dibuat oleh salah satu sponsor vitamin remaja-dewasa dan aku hanya keluar menjadi penoton. Maklum, dari pointtwo banyak sekali yang mengikutserta, sangat keterlaluan jika aku hanya berleha-leha ngadem di kelas. Sudah berdesak-desakan, malah dapat tempat yang langsung terpapar sinar mentari. Tapi, jika aku pindah, maka aku tak akan mendapat tempat se-strategis ini lagi. Lagipula karena Gala ikutserta maka aku tambah semangat.

Sedang asyik menonton, tiba-tiba ada yang menepuk bahuku. Seketika aku menengok dan melihat kak Brilya, Dihan's classmate, berwajah ayu, rambut tebal sebahu, tetapi tak lebih tinggi dariku. Dulu ia juga menjadi kakak kelas disekolah lamaku, dan ia merupakan teman baiknya temanku, jadi aku sangat mengenalnya.

"Kisen! Apa kabar?" Brilya masih memegang pundakku. Aku mengangguk senang.

"Baik!"

"Mau memastikan Dihan yang mana, 'kan?"

Aku teringat pernah bertanya tentang Dihan kepadanya, karena mereka memang terlihat keluar dari kelas yang sama. Aku memang pernah melihat Dihan walau tak yakin itu benar-benar namanya, jadi aku harus bertanya pada Brilya. Tapi kini aku menyesal, karena..

"Dia dekat sini, kok. Aku panggil, ya! Dihan!! Dihaann!!"

Jantungku berdegup kencang. Jangan sampai ia kesini, karena untuk jadi kesan pertama sungguh jelek. Tak mungkin ia kesini, ia pasti tak peduli dan tak mau membuang waktu. Keringatku bercucuran, deg-degan dan kepanasan.

"Ohh, ini yang nanyain Dihan?" Nabila, kakak kelasku juga, badan tinggi ideal dengan rambut keriting tebal goals, datang tiba-tiba. Aduh, Brilya!

Dari desakan orang-orang, muncullah suatu kepala dan wajah yang terlihat jelas, dikarenakan tinggi badannya. Memakai batik bernuansa warna gelap, badannya yang sedikit membungkuk, wajahnya yang rupawan, Dihan, keluar menghampiri Brilya.

"Apa, Bril?"

Brilya tersenyum puas. Nabila tertawa memegangi perutnya. Aku kalang kabut. Jantungku ikut berlomba.

"Nih, Han. Cewek yang pengen kenalan sama lu itu,"

Mampus, mampus, mampus!

Dihan menatapku dengan wajah ragu. Aku dengan malu-malu serta salting mengangguk pelan. Dihan masih terpaku. Aku cuma bisa menatapnya dengan membiarkan keringat keluar mengalir begitu saja. Dihan juga masih menatapku lagi. Brilya juga ikut salting. Nabila sedang berbicara dengan teman lainnya.

"Eh, eh.. jangan salting gitu! Kenalan, dong, Han. Dia suka, lho, sama lu!"

Eh!? Aku 'kan cuma bertanya dan mengagumi! Bukan menyukai!

"Eh? Ah.." pita suaraku tercekat.

"Oh, ya? Salam kenal. Dihan." Ia menyodorkan tangan kanan-nya. MENYODORKAN TANGANNYA. Aku begitu excited. Best day ever. Walau masih mengagumi, tapi ini telah buatku terbang melayang, entah kemana arah tujuan, pergi begitu saja sampai ke langit ke delapan.

Tetapi, bodohnya aku, aku hanya bisa menekuk lutut dan mengangguk hormat, tak ingin berjabat tangan. Walau kejadian ini tak pernah kulupa begitu saja. Aku.. terlalu gugup untuk kenalan dengan berjabat tangan.

Takut terlalu excited, dan bisa-bisa, meremukkan tangannya.

Brilya dan Nabila puas sekali, aku membetulkan poni, sampai saat ada pengumuman pemenang yang buat kami semua bubar begitu saja.

Sampai sekarang pun, aku masih menyesal kenapa tak menjabat tangan kanan hangatnya itu. Sangat menyesal.

Masih terpikir saja.

**
Siang ini, aku mengambil jam ekstrakurikuler. Panahan, olahraga yang menginginkan kefokusan, akan kupilih. Sedari dulu, saat aku masih duduk di sekolah sebelah, aku cuma bisa memandang kakak-kakak (tampan) yang luwes memegang busur dibawah pohon. Keren sekali. Jadi, kuharap aku bisa masuk sekolah unggulan kota ini agar bisa ikut ekskul panahan juga. Kuambil seragam olahraga dari lokerku, masih sangat wangi. Memegang alat bantu pegang busur, kuncir kuda yang dimainkan, aku siap menghadapi hari perdana ekskul yang selama ini kuimpikan.

Saputangan yang kulipat dan kujulurkan sedikit dari kantung menambah kesan sportyku. Sangat semangat, seperti semua darah mengalir di tubuhku. Keringat sehat bercucuran dan terasa menyenangkan saat aku mencoba pemanasan. Kuamati satu per satu anak dan kakak kelas, terutama yang laki-laki. Wah, cukup tampan semua. Jadi makin semangat!

Walau terhitung sedikit, aku yakin ini pasti menyenangkan. Yang perempuan hanya beberapa, apalagi dari kakak kelas, mungkin cuma ada sekitar 5 orang. Beberapa sedang menikmati kucuran air melewati tenggorokan dan memandangi kami bak mata senior. Jadi gugup.

Guru kami menyuruh semuanya berkumpul dalam satu lingkaran, dan di seberangku, yang saling berhadapan denganku, adalah kak Rizandi, teman sekelas Dihan juga. Bahkan mereka sering pergi bersama. Aku jadi senang(?).

Tak lama, seorang laki-laki grasak-grusuk masuk barisan kami. Baju olahraga dan baju dalam balapan sehingga menampakkan kesan tak rapi, rambutnya yang diincar para guru BK juga tak rapi, terkesan buru-buru. Ia baru saja sampai dan melempar tasnya, lalu segera mencoba pemanasan yang menuju ke bagian pertengahan. Sekarang ia berseberangan denganku, menggeser posisi Rizandi. Dari posisi memegang lutut serta menatap rumput, saat kutedahkan kepala, kudapati.. kudapati Dihan yang sedang nyengir ditegur Rizandi.

Manis sekali.
Eh, ia SATU EKSKUL denganku!?

GalaksiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang