When I Was Your Girl

1.1K 37 3
                                    

Aku menatap nomor undianku, nomor 5. Entah aku akan dipasangkan dengan siapa nantinya. Malam ini kelasku mengadakan acara prom night kecil-kecilan saat perpisahan kelas. Aku mengenakan dress berwarna putih selutut. Aku melihatnya sedang berbincang dengan temannya. Ia terlihat tampan dengan balutan jas hitamnya.

Mulai saatnya waktu untuk dipasang-pasangkannya. Disebutkan satu per satu nama laki-laki yang akan dipasangkan nantinya. Tepat saat undian bernomor 5, aku mendengar namanya. Yup, ia dipasangkan oleh perempuan beruntung bernomor 5 dan itu aku. Aku tersenyum. Selang beberapa lama temanku yang juga menyukainya datang ke arahku. Ia memintaku untuk bertukar nomor dengannya. Ia memohon. Meskipun hatiku menolaknya namun mulutku berkata aku setuju. Lagi-lagi aku harus mengalah.

Ku lihat ia tersenyum pada temanku itu. Rasanya aku ingin menangis saat itu juga. Mataku mulai sembap dan tak berapa lama air mata meluncur deras dipipiku. Aku menangis. Ya, aku menangis.

Seharusnya aku yang berada disampingmu sekarang.

Betapa bodohnya aku ini. Aku pergi ke toilet untuk menenangkan diriku atau mungkin lebih tepatnya untuk menangis sepuasnya. Saat aku berjalan menuju toilet aku berpapasan dengannya. Ia menatapku sendu. Aku menatapnya. Air mata semakin deras keluar dari mataku. Seketika, rasa perhatiannya mulai muncul. Seperti dulu, saat kakiku terkilir. Ia mendekat ke arahku. Memelukku dengan tubuh hangatnya. Aku menangis dipelukannya. "Aku nggak tau akan bertahan berapa lama lagi untuk terus tersenyum disaat nangis gini aku nggak tau." batinku. Ia melepas pelukannya. Aku melihat bahunya basah karena air mataku. "Maaf, jas kamu jadi basah." ujarku. Ia tersenyum. "Nggak papa kok." aku membalas senyumannya. Senyuman yang ia berikan hanya pada orang-orang tertentu saja. "Kalau kamu ada masalah bisa cerita sama aku." ujarnya tulus. Aku menatap matanya kaget.

"Makasih ya. Tapi, aku kan bukan siapa-siapa kamu." aku mulai menundukan kepalaku. "Nggak papa kok." ujarnya tulus. "Lebih baik kamu ke aula sekarang kayaknya pasangan kamu udah nunggu kamu disana." aku tersenyum padanya. Berusaha untuk mengatakan padanya aku baik-baik saja dan aku ingin ia segera meninggalkanku. Agar, aku tidak terlalu cengeng. Ia menepuk-nepuk bahuku sebelum akhirnya ia pergi meninggalkanku sendiri. Isakan tangisku tidak bisa ditahan lagi. Aku menangis lagi. Lagi dan lagi. Aku berharap agar dia cepat memiliki seorang 'pacar' agar aku tidak ada firasat jika dia menyukaiku. Aku mengusap air mataku pelan lalu berjalan menuju aula.

Aku melihatnya sedang makan malam bersama temanku yang menyukainya itu. Terlihat kesenangan di wajah temanku. Aku ikut tersenyum senang. Aku berjalan menuju partnerku. Oh sialnya karena ia duduk tepat di sebelahnya. Aku duduk disampingnya. Jadi, jika disimpulkan, Aku,Dia, temanku dan partnerku duduk di satu meja yang sama. Aku duduk disebelahnya. Sedangkan partnerku dan temanku duduk bersebelahan di hadapanku. Aku menyuap makananku. Partnerku tersenyum padaku sebelum ia menyuap makanannya.

Aku tersenyum. Lalu, saatnya untuk berdansa. Aku melirik padanya. Sepertinya, ia sangat menikmati malam ini. Dia menggenggam tangannya. Aku hanya menatapnya miris. Partnerku mengulurkan tangannya untuk berdansa denganku. Aku tersenyum dan membalas ulurannya.

(dimohon perhatian untuk sambil mendengarkan lagu When I Was Your Man dari Bruno Mars:) terima kasih)

Barulah aku berpegangan dengannya. Mulai berdansa dengan partnerku. Aku melirik padanya. Melihatnya sedang berbicara dengannya. Mereka sangat cocok, gumamku. Aku tersenyum pada partnerku. Aku mulai menari mengikuti irama. Sampai akhirnya aku hampir terjatuh partnerku menangkapku dan membantuku berdiri. "Terima kasih." ucapku.

Kepalaku mulai pusing, mungkin karena aku terlalu lama untuk menahan tangis. Akhirnya air mataku keluar. Partnerku berhenti menari. "Kenapa berhenti?" tanyaku. Ia tersenyum lalu mengusap air mataku pelan dan aku mulai menari lagi. Aku menangis di pelukannya saat lagu yang berbeat mellow. Saat itu aku menangis di pelukannya sambil berdansa. Aku berpikir mengapa bukan dia? Kenapa harus partnerku? Harusnya itu aku yang berdansa dengannya bukan dia. Aku hanya memendam kata-kataku itu. Di pelukan partnerku. Bukan pelukannya.

------------

Selesai juga jangan lupa vote dan comment:)

ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang