That Eyes

766 21 0
                                    

Tuhan memberikan setiap manusia mata. Mata diberikan oleh Tuhan agar kita dapat melihat ciptaannya yang begitu indah. Mata juga bisa membuat kita menyukai sesuatu. Dengan mata kita dapat melihat benda yang bagus atau menarik atau bahkan tidak menarik. Dengan mata kita juga dapat menilai penampilan orang, seperti keren, ganteng, cantik dan lainnya. Namun, mataku yang minus ini, dan ditutupi frame ini kugunakan untuk melihat ciptaan-Nya. Salah satunya........... Dia.

--------------------------------------------------

Jakarta, 28 Juni 2013

Penerimaan rapot. Hari yang mungkin ditakuti oleh banyak anak sekolahan. Contohnya, Aku. Aku tidak ingin menerimanya secara langsung. Aku memilih untuk menunggu di stand kelasku. Aku melihatnya. Awalnya aku melihat mobilnya berada di depanku. Namun, saat aku masuk ke sekolah. Aku sudah melihatnya bersama teman-temanku. Aku ikut ke kelas sebentar bersama ibuku. Dan aku melihat ayahnya sedang menerima rapotnya, dan dia masuk 10 besar dengan urutan 9. Aku ikut senang. Namun, aku kecewa karena aku tidak masuk 10 besar. Aku memutuskan untuk turun ke stand. Aku langsung ikut menjual barang-barang yang dijual. Dia juga stand by. Namun, tidak ikut menjual, hanya ikut bergabung di stand kelas.

Sejujurnya, aku kecewa. Kecewa karena, dia sama sekali tidak berbicara denganku. Berbeda 180 derajat saat di Dufan. Ia menjawab saat aku bertanya. Namun, hari ini dia sama sekali tidak menjawab. Sekedar meladeni atau mungkin mendengarkan. Dia sama sekali tidak meladeni atau bahkan mendengar.

Aku tidak tahu kenapa. Mungkin, hanya dia yang tahu dan Tuhan. Lalu, aku melihatnya dan teman-temannya menyendiri di tempat teduh. Jujur, aku memerhatikannya dari jauh. Dan aku rasa.... Dia juga. Eh aku tidak tahu.

Dan saat ia berbicara dengan temannya dan lumayan dekat dariku. Suaranya serak. Seperti habis menangis. Dan matanya juga sendu. Apa dia habis menangis? Aku tidak tahu. Aku tidak tahu kenapa. Rasanya ingin bertanya padanya, namun tidak memungkinkan. Aku mulai melupakan. Kami hanya melemparkan senyum. Senyum yang mungkin tidak bisa dilihat oleh siapapun. Kecuali, aku dan dia, mungkin. Sebenarnya, aku sempat menyindirnya. Entah ia mendengarnya atau tidak. "Enak ya lo. Punya pacar bisa main gitar, piano basket pula. Lah gue nggak tau dah nih." ujarku. Ia hanya melirik ke arahku.

Hanya, melirik. Maksudku dia hanya melihat ke arahku. "Gue sih pengennya bisa punya pacar yang bisa main gitar dan nyanyi buat gue. Pasti itu kayak...." aku hanya tidak bisa berkata-kata lagi. Kalau yangku bayangkan. Maksudku, cowok itu dia. Dia hanya.... Melirik ku lagi, mungkin?

Aku takut tahun depan aku tidak dapat melihat mata itu lagi. Matanya itu, matanya yang besar mungkin? Ah aku tidak tahu jenis matanya, sipit atau belok aku tidak tahu. Aku juga takut. Takut jika aku terus menunggunya sampai umurku tua nanti. Ah, berlebihan. Tidak mungkin sampai tua. Mungkin, aku dapat menemukan yang lebih baik darinya suatu saat nanti. Atau justru aku malah bersamanya. Who knows.....

ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang