Bagian Dua

355 120 42
                                    

Ardo

Hari ini tim kami melawan tim Grievers. Ya, namanya seperti hewan mengerikan yang ada di film "The Maze Runner". Katanya, sih, mereka memang susah dikalahkan. Namun sayangnya, itu bukan katanya lagi. Gue akui, mereka memang sulit dikalahkan. Permainan futsal berakhir dengan skor 3-4. Beda tipis, sialnya.

"Nggak usah dibawa serius, Do. Dijadiin pelajaran, berarti kita harus lebih giat latihannya. Kalahin mereka lain waktu, oke?" Kevin menepuk pundak gue, berusaha menenangkan gue.

"Oke. Gue ganti baju dulu abis itu langsung balik, ya. Malam ini gue tunggu di rumah gue," balas gue lalu menepuk pundak Vico dan Kevin.

"Bisa diatur, Do. Tenang aja," jawab Vico sambil mengangkat alis dan memamerkan senyum favorit bagi pacarnya.

Gue pun berjalan menuju ruang ganti. Ruang ganti ekskul futsal tepat di sebelah kiri kelas XII IIS 1. Gue keluar ruangan sambil membawa tas futsal milik gue. Gue sedikit mempercepat langkah gue karena nggak tahan pengin balik. Namun langkah gue terhenti ketika gue melihat seorang cewek yang lagi mengutak-atik ponselnya di depan kelas dan mungkin lagi menunggu dijemput.

"Hei," sapa gue singkat. Mungkin dia bakal kabur karena mencium bau asam yang menempel di tubuh gue yang habis tanding futsal. Tapi ternyata tidak.

"Hei."

"Thanks buat teh hangatnya 2 hari yang lalu," ucap gue dengan menampilkan senyum kecil gue.

"Oke. Jangan sok cuek lain kali. Gue duluan, bye," jawabnya ketus yang langsung berlalu dari gue.

Gue hanya mengangkat bahu dan menjawab, "Bye. Hati-hati."

Entah. Gue nggak tahu kenapa gue bisa melontarkan kata-kata itu. Kata-kata itu spontan keluar dari mulut gue. Nggak biasanya gue kaya gini ke orang-orang. Apalagi cewek. Seperti yang dia bilang barusan. Cuek. Memang cuek dan bukan sok cuek.

****

Gue menghempaskan tubuh gue ke kasur. Emang nggak ada lagi tempat yang bikin gue senyaman ini selain kamar gue sendiri. Kamar yang gue pikir nggak terlalu luas dan dengan desain seadanya. Gitar berlabel Yamaha yang gue letakkan di pojok kanan kasur dan bola futsal kesayangan gue yang ada di samping gitar. Gue cinta sama kamar gue.

Gue berbaring. Menyila tangan gue di bawah kepala dan memandang lurus ke atas. Kalau lagi capek, gue emang suka memandang lurus ke arah langit-langit kamar. Gue merasa tenang, damai, entah apa sebabnya tapi seolah-olah langit kamar gue lah yang menjadi moodbooster terbaik yang gue pernah gue miliki. Dan seringkali gue mendapat inspirasi ketika gue memandang langit-langit kamar gue. Ajaib, kan? Tapi sekarang berbeda. Gue nggak mendapat inspirasi kali ini tapi sebuah wajah terbesit di pikiran gue. Wajah cewek itu. Entah kenapa, gue merasa ada yang-

Ting Tong.

Bocah-bocah itu.

Gue berteriak malas, meminta tolong pada Gina-adek gue- untuk membukakan pintu dan mempersilakan mereka masuk. Gue pun turun ke bawah untuk 'menyambut' mereka. Mereka datang dengan menenteng dua porsi pizza yang sering kami beli saat kami merayakan kemenangan kami. Tapi ternyata hal itu juga mereka lakukan saat kami kalah. Tumben mereka perhatian sama gue.

"Selamat malam, wahai Pangeran Adeardo William ...."

Oh God, makhluk macam apa yang Kau berikan untukku ini?

"Vin, bisa nggak, cowok sedikit ngomongnya?" balas gue dengan berkacak pinggang. Lalu berbalik badan dan berjalan kembali ke kamar.

"Lo semua nyadar, nggak, sih? Kalo suara gue itu paling berat di antara kita. Tapi ... ya gue juga, sih, yang punya suara paling kemayu diantara kita ...," balasnya sambil mengekori gue menaiki anak tangga dengan volume suara yang semakin rendah. Dan leluconnya itu juga membuat gue dan Vico geli.

Back to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang