Bagian Tujuh

176 29 12
                                    

Ardo

Waktu istirahat pertama ini memang biasa gue pakai untuk bermain futsal. Gue pikir, akan sangat disayangkan kalau sekolah lo punya lapangan futsal yang luas tapi nggak lo gunakan.

Kali ini, kelas gue yang menantang kelas XII MIA 3-alias kelas dua bocah tengil, Vico dan Kevin. Dan Toni-KM kelas gue-menawarkan dirinya untuk menjadi wasit.

"Vin, Vic. Sorry, ya. Ini demi profesionalitas." gue menepuk bahu mereka sebelum akhirnya permainan dimulai.

"Kelas gue pasti bakal menang Do," balas Vico percaya diri.

"Kali ini, tendangan gue pasti nggak akan meleset," balas Kevin yang menepuk balik bahu gue dan disertai tatapan yang berusaha meyakinkan, namun gue hanya membalas dengan kekehan kecil. Betapa dramatisnya persahabatan kita, Vin.

"Satu ... dua ... tiga!"

Gue mulai menggiring bola dengan kaki kanan mencoba untuk memberikan umpan pada Rino. Vico terlihat sedang berusaha mengalihkan perhatian Rino, namun sayangnya, Rino tidak menghiraukannya. Justru, dia kembali mengoper bola pada gue seolah-olah membiarkan gue yang mencetak gol. Dan gue tahu, ini saat yang tepat untuk menendang bola ke arah gawang.

BUK!

Dugaan gue salah besar. Bola yang gue pikir akan masuk dengan mulus ke gawang kini malah menjatuhkan tubuh seorang cewek yang terlihat familier. Dan minuman yang dia bawa pun ikut terjatuh.

Dhiona.

Gue terdiam selama dua detik, lalu berlari menghampiri Dhiona yang ternyata sudah pingsan. Merasa panik, gue langsung membopong badan cewek itu dan membawanya ke ruang UKS. Gue bisa melihat dengan jelas bahwa Vico dan Kevin membututi gue. Tapi gue nggak mempedulikan. Yang gue pedulikan sekarang adalah dia harus sadar secepatnya. Dia, Dhiona.

"Dok, temen saya pingsan!"

"Cepat taruh di sana. Jangan dikerumuni, kasih dia ruang untuk bernafas," balas dr. Tasya yang menunjuk sebuah kasur sambil berjalan cepat. Dan kemudian, dia menutup tirai dengan gesit.

Gue berkacak pinggang dan mengacak-acak rambut gue. Merasa bodoh. Bagaimana bisa gue bertindak seceroboh ini? Ini pertama kalinya gue melakukan hal bodoh seperti ini. Hari terbodoh yang pernah gue alami.

"Do? Kok lo panik banget?" Kevin membuka pembicaraan. Gue memang nggak pernah cerita apapun tentang Dhiona, tentang kenyataan bahwa gue mulai menyukai Dhiona.

"Vin, nanyanya nanti aja." Vico berusaha mengerti keadaan.

"Gue suka sama Dhiona."

Gue nggak bisa melihat ekspresi mereka setelah gue mengaku bahwa gue menyukai Dhiona. Tapi gue yakin, mereka pasti kaget. Termasuk Callista yang masih berada di ruang UKS.

"Gimana, Dok?" tanya gue tepat setelah dr. Tasya membuka tirai.

"Nggak apa-apa, kok. Dia cuma shock aja. Ntar juga sadar, dia cuma butuh istirahat," ucapnya. "Kalian balik ke kelas aja. 'Kan udah habis waktu istirahatnya. Lagian ada saya, nggak perlu khawatir."

"Tapi, Dok—"

Belum sempat Callista meneruskan ucapannya gue menyela, "Nggak, deh, Dok. Saya di sini aja. Lagian gurunya cuma ngasih tugas, kok."

"Oh, iya. Vic, Vin, lo berdua kalo mau balik, duluan aja. Gue mau di sini," lanjut gue yang sudah berada di samping sebuah kasur yang Dhiona tempati. "Lo juga, Cal. Tolong bilang ke gurunya, kalo Dhiona sakit."

"Janji, ya, lo bakal jagain Dhiona?"

"Iya."

"Oke. Gue percaya, kok, sama lo. Gue duluan, ya."

Back to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang