Bagian Lima

211 72 26
                                    

Bagi sebagian orang, mungkin sangat membenci hari Senin. Bahkan mereka tidak lagi menyebutnya dengan nama tersebut melainkan, "Monsterday". Alasannya klasik, sangat klasik. Mereka tidak ingin mendengarkan ceramah sang pembina upacara yang sangat membosankan. Ralat, bukan upacara. Tapi, apel. Bahkan apel dilaksanakan tidak lebih dari 30 menit. Lebai sekali mereka. Untuk minggu ini, mereka dengan puas bersorak-sorak karena tidak ada acara apel yang 'katanya' membosankan itu. Hari ini tidak ada yang berteriak seperti:

"Eh, ada yang bawa topi dua, nggak?"

"Coy, bawa dasa lebih, nggak?"

"Pura-pura sakit, yuk! Males gue dengerin ceramah."

"Ada yang bawa kaos kaki putih dua pasang, nggak? Kaos kaki gue warna warni, nih."

Jangan heran. Semua teman sekelasku adalah manusia terkonyol yang pernah kukenal. Bahkan, beberapa dari mereka seringkali membawakan sepasang kaus kaki putih lebih untuk teman sekelas yang membutuhkan. Rajin sekali. Mereka memang memegang teguh prinsip, "Solidaritas tanpa batas". Namun untuk hari ini, teriakkan seperti itu digantikan dengan:

"YEAAAAAYY!! Akhirnya nggak ada apel! Seneng banget, gila!"

"Ini bersejarah banget, Man! Sekolah kita nggak biasanya kayak gini."

"Yes! Gue bisa tidur lagi."

"Akhirnya, gue nggak panas-panasan. Secara, kemarin gue habis luluran."

Kira-kira, seperti itulah kalimat yang aku dengar. Aku hanya menarik nafas dengan malas. Bukan, bukan karena apel tidak dilaksakan hari ini. Tetapi, karena teriakkan mereka membuatku pusing. Aku membenci keributan. Ya, segala macam keributan.

"Eh, Dhi!" Callista menepuk pundakku, "Katanya, temen SMP lo pindah kesini. Kenalin, dong!"

"Iya, nanti. Istirahat pertama," balasku malas.

"Dia masuk kelas mana?" tanyanya lagi.

"XII MIA 2."

"Hah? Serius?!"

Baru saja aku ingin mengambil buku catatan Bahasa Indonesia yang aku letakkan di dalam tas, Callista kembali mengangguku. Dia memang tidak pernah mengerti keadaan.

"Cal, bisa nggak, sih diem dulu? Kalau dia kelas XII MIA emang kenapa? Ada yang aneh?" ucapku dengan nada yang sedikit meninggi.

"Ya ampun, Dhi. Mood swing banget sih, lo," balasnya lalu pergi meninggalkanku seakan-akan dia mulai mengerti kalau memang tidak bisa diganggu untuk saat ini. Baguslah.

Sejenak setelah itu, aku memikirkan apa yang dikatakan Callista.

Mood swing? Benar juga, kenapa aku jadi mood swing begini?

Suara seseorang yang tegas itu menghentikanku berpikir. Suara milik Genta. Sang ketua kelas yang terkadang benar, terkadang juga sesat. Seringkali dia menasihati kami—teman sekelasnya—untuk mengerjakan lalu mengumpulkan tugas dengan tepat waktu, tetapi dia pun sering mengajak kami untuk tidak mengerjakan tugas saat tidak ada guru. Terkadang aku berpikir, kenapa orang gila seperti dia bisa terpilih menjadi ketua kelas?

"Woy, diem!" kelas pun menjadi hening karena mendengar dia memerintah dengan tegas.

"Hari Rabu sampai Jum'at ada try out. Jadwal dan waktunya nanti gue kirim lewat Dhiona," lanjutnya dengan kedua mata yang tertuju padaku dan mengangkat kedua alisnya, mengisyarakanku agar aku tidak lupa untuk menyebarkan jadwal try out. Walaupun sebenarnya, dia bisa saja langsung mengirimkan jadwalnya lewat grup kelas, tetapi aku lah yang jauh lebih berhak menyebarkannya karena aku disini menjabat sebagai seksi humas.

Back to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang