Bagian Tiga

273 106 31
                                    

Ardo

Gue kembali meraih sebuah benda berbentuk pipih yang gue letakkan di nakas kamar gue. Membuka salah satu media komunikasi online dan mencari kontaknya. Dhiona. Jangan salah paham dulu. Gue cuma penasaran.

Oh, iya. Sebelumnya, gue tahu nama dia dari Vico. Bukan, bukan gue yang tanya siapa namanya. Tapi saat itu, kebetulan ia sedang menceritakan tentang Callista, teman SD sekaligus SMP-nya Icha, dan dia juga menceritakan tentang Dhiona.

Gue mengambil keputusan bodoh, baginya. Memberanikan diri untuk memulai obrolan.

Ardo, lo emang udah gila.

Betul saja, niat baik gue membuahkan hasil yang buruk.

"Cewek ini benar-benar unik,"

Apa? Barusan gue bilang apa? Apa benar kalimat itu terlontar dari mulut gue?

Ardo, lo benar-benar udah gila.

****

Suara nyaring jam beker membuat gue terpaksa membuka mata. Kesalahan fatal. Gue lupa me-nonaktifkan alarm.

Ayolah, ini hari Sabtu.

Saat gue tiba di ruang makan, yang gue lihat hanya sesosok gadis yang sedang sarapan dengan santainya. Bukan, dia bukan penyusup atau apapun itu. Tapi dia adik gue, adik satu-satunya yang gue punya, Gina namanya. Regina Patricia.

"Gina, Papa sama Mama mana? Tumben Papa berangkatnya pagi banget."

Dia menghentikan aktivitas mengunyahnya.

"Oh, Papa sama Mama libur kok tapi tadi mereka bilang ada urusan mendadak, Kak," jawabnya lalu dia kembali mengunyah.

"Mmm." gue bergumam dan kemudian menempelkan bokong gue di kursi makan.

"Oh iya, Kak. Hari ini kan hari Sabtu, anterin aku ke toko buku, ya?" pintanya manja. Gina memang seperti itu. Kalau butuh sesuatu pasti selalu minta dengan nada manja. Termasuk pada kakaknya yang ganteng ini.

"Boleh, tapi Kakak nungguin kamu, ya? Ntar kalo ditinggalin bisa-bisa kakak dikasih wejangan sama Mama, lagi."

"Hahaha, boleh. Tapi kalau lama jangan ngomel, oke?"

Gue hanya merespon dengan kekehan kecil. Gue akui, kalau sudah berada di toko buku jangan anggap setelah buku yang dia cari ketemu, dia langsung melakukan transaksi. Tidak. 100% tidak. Dia langsung berniat mecari buku lain. Katanya sih, "Biar gak bolak-balik, kak." Hah, alesan klasik, dik.

Setelah memasuki toko buku yang terdapat pada sebuah mall, Gina langsung mengedarkan pandangan pada setiap rak buku yang ada, dan mulai menjelajah buku yang dia cari.

"Gin, seperti biasa. Kakak gak suka liat banyak buku begini. Starbucks, oke? Kalau udah selesai, langsung sms atau telpon. Jangan kemana-mana selain ke Starbucks."

Inilah gue. Kalau sudah mengkhawatirkan Gina, gue akan berubah menjadi cerewet. Mungkin sebagian orang akan berpikir gue tega ninggalin adiknya sendirian di toko buku. Tapi bagi gue sebaliknya. Gue mengerti kalau dia bukan anak kecil lagi yang harus dijaga sana-sani dan gue mengerti kalau dia benci dikekang. Setidaknya, gue punya cara sendiri untuk melindungi adik gue.

Setelah menerima pesanan kopi rasa Caramel Macchiato gue langsung mengedarkan pandangan ke seluruh meja dan kursi, mencari-cari mana yang tidak berpenghuni. Gotcha! Keberuntungan berpihak pada gue. Di bagian dekat jendela ada yang kosong, ternyata. Ini adalah tempat favorit gue karena gue bisa lihat pemandangan di luar. Ya walaupun sekadar orang-orang yang lalu lalang.

Back to YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang