04.Big City Life - The World Between Heaven and Earth

2.2K 162 45
                                    

Aku tiba-tiba terbangun ditempat yang aku sendiri merasa aneh.
Didepanku hamparan sawah padi yang menguning dengan langit sore menjelang senja. Angin semilir menerpa hamparan padi, bau padi dan rumput begitu kuat, seperti saat sehabis hujan.
Hujan?
Aku kemudian meraba rumput yang tadi aku tiduri. Rumput pun sama sekali tidak basah, aku raba sekali lagi.
Ah....mungkin karena aku berada ditengah sawah, sehingga aromanya jadi lebih kuat.

Sebenarnya agak aneh, mengapa ada tanah berumput ditengah sawah, dan lebih aneh lagi, mengapa aku tertidur ditengah sawah?
Dan bisa nyenyak pula.

Semerbak bau padi dan rumput kembali melenakanku. Bau itu seperti membuatku malas berpikir untuk mengingat kejadian yang membawaku disini.

Aaah...hamparan sawah itu mengingatkanku akan Cikijing, kota kecil disebelah utara Ciamis. Yaaa...bau sawah ini mengingatkanku tempat di Cikijing. Rasanya damai sekali ditempat itu.
Saat aku terjebak hidup di Jakarta, hampir setiap kali setelah hujan, aku selalu memacu kendaraanku ke perimeter selatan bandara Soekarno-Hatta, hanya sekedar untuk menghirup segarnya bau padi dan rumput.

Senja yang tak juga datang dan angin yang meniup hamparan padi seperti gelombang, terasa sangat romantis bagiku.

Romantis?

Ah ya, masih ada yang kurang disini. Seharusnya ada Fikri, kekasihku.

Aduh....

Tiba-tiba aku merasa pedih di seluruh tubuhku. Rasanya ada suatu benda tajam seperti silet, yang menyayat kulitku. Sayatan itu terasa dari kepala hingga kakiku.
Tetapi saat aku lihat, tak ada sedikitpun luka pada tubuhku.

Aneh....

Ini kejadian teraneh di hari teraneh sepanjang hidupku.

Nanti saja ah, aku puaskan dahulu menikmati pemandangan ini, baru aku mencari jalan pulang. Setelah itu aku akan ke klinik, semoga saja aku tidak dianggap aneh oleh dokter.

Aku kembali memandang hamparan sawah. Rasanya menenangkan hati.
Seandainya saja ada Fikri disini.

Ingatanku melayang ke masa lalu.

Aku berkenalan dengan Fikri, lima tahun lalu melalui Facebook.
Seingatku, dia yang terlebih dahulu yang menambahkan akunku dalam pertemanan, dan dia juga yang memulai percakapan.
Pada awalnya, aku tidak terlalu menanggapinya, aku hanya menjawab seperlunya. Hingga timbul rasa bersalahku, karena aku merasa itu bukan perbuatan yang baik. Akhirnya aku membuka akun Facebook milik Fikri. Tidak ada sesuatu yang aneh didalamnya, kesemuanya photo-photo yang sangat biasa, tidak nude, tidak erotis, tidak  "ah so gay" dan tidak "hedon". Terlepas dari Fikri yang memang menarik segala-galanya, dalam photo nya justru hanya menunjukkan kebersamaan  bersama teman-teman kerjanya, yang bekerja di sebuah gerai handphone.

Dari situlah bermula ketertarikanku padanya. Terlebih usianya hanya terpaut 8 bulan denganku.
Jika sebelumnya percakapan hanya sebatas pesan di Facebook, kemudian berubah menjadi lebih intensif melalui percakapan di telephone.

Satu tahun diawal, kami memang hanya sebatas percakapan melalui telephone tanpa sedikitpun mengatur waktu untuk bertemu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku yang menuntutku harus mobile dari Asia Timur hingga Eropa Barat. Intensitas percakapan memang hanya hangat di awal-awal, saat saling ingin tahu satu sama lain. Tetapi lima bulan setelahnya,  intensitas makin menurun, bahkan acap kali kita lupa untuk mengingat satu sama lain.

Tahun kedua, aku sudah lebih banyak waktu di Jakarta. Kemudian aku meminta waktu ke Fikri untuk bertemu.
Pertemuan awal boleh dibilang kencan pertama kami. Hanya tiga puluh menit kami bertemu dan berbicara dengan sedikit basa-basi di gerai KFC . Dan tak lama setelah itu, kami pun berlanjut ke tempat tidur selama dua hari kemudian.

He's Just Not That Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang