07. Prose To Family - Her Husband's Concubine (Part-2)

2.3K 144 71
                                    

2015

Gue harus tau diri, suka nggak suka gue harus pergi dari kehidupan Bang Dion.
Gue harus bisa bilang cukup.
Gue harus bisa bilang ke Bang Dion, itu satu-satunya jalan yang terbaik.
Memang disini gue harus hancur, tapi untuk apa bertahan jika pondasi hubungan ini rapuh.

Empat tahun hidup bersama dengan Bang Dion memberi banyak hal pelajaran hidup. Empat tahun bukan waktu yang lama pun bukan waktu yang sebentar. Gue masih mencintai Bang Dion, bahkan gue tidak yakin ada seseorang yang bisa menggatikannya kelak. Dalam ketidak sempurnaan Bang Dion, gue melihatnya sempurna.
Dalam kelemahan Bang Dion, gue melihatnya kuat.

"Yang....bisakah kita bicara baik-baik?"

"Abang...! Apa lagi yang harus dibicarakan?"

"Sayang sama sekali nggak tanya alasan Abang pacarin Rani."

"Bang.... Jujur yaaa...gue ngeri untuk tau apa yang ada dipikiran Abang."

"Kenapa gitu?"

"Gue sedih Bang. Abang pacarin orang lain, tapi Abang masih mencintai gue. Gue lebih senang Abang membuang gue dan membenci gue."

"Yang...dengerin Abang dulu!", Bang Dion menarik tangan gue dam meminta dengan isyarat agar gue duduk dipangkuannya.

Bang Dion mencium lembut bibir gue.

"Abang nggak pingin sama sekali kita berpisah. Abang nggak pengen jauh dari Sayang. Cuma ini jalan satu-satunya. Abang menikahi Rani dan kemudian cerai. Itu jauh lebih kecil resikonya dibandingkan Abang menikahi orang yang dijodohkan Bokap. Sudah pasti yang dijodohkan itu anak sahabat Bokap. Kalau sampai Abang cerai, selain membuat malu orang tua, hubungan Bokap dengan sahabatnya pasti rusak. Dan pengaruhnya gede pada bisnis Bokap."

"Udah Bang?"

"Abang nggak akan pernah ninggalin Sayang. Jadi jangan khawatir kalau Abang kemudian menikah."

"Bang....! Rani itu sahabat gue! Sahabat  Baaang, bukan sekedar teman. Seandainya Abang memilih korban perempuan lain pun, gue juga bakal benci dengan Abang. Yang jadi korban Abang itu manusia! Abang itu bukan menikahi barang, tapi jiwa. Siapa lagi yang akan jadi korban? Anak Abang kan? Abang mikir lah. Setidaknya Abang punya hati."

Bang Dion terdiam dan hanya beradu pandang dengan gue. Raut mukanya begitu putus asa. Seputus asa gue.

"Biarkan gue pergi Bang. Abang harus memilih salah satu untuk kehidupan Abang. Nggak bisa dua-duanya. Kasihan istri Abang dan anak Abang kelak. Abang itu lelaki, namanya lelaki itu harus bisa tegas memilih jalan terbaik. Abang nggak boleh lagi berpaling. Kalau Abang memilih berkeluarga, jangan pernah sekali-kali bersentuhan dengan gay. Jangan korbankan jiwa anak Bang. Kalau Abang memilih sebagai gay, sekali-kali jangan pernah berpikir menghamili orang, hanya sekedar alasan ingin punya keturunan. Jangan pernah sekali-kali Abang korbanin anak."

Bang Dion memeluk gue erat, air matanya menetes mengenai bahu gue.

Sudah selayaknya Bang Dion tau arti tanggung jawab terhadap pilihan hidupnya. Kalau hidupnya kemudian melibatkan orang lain hendaknya dia bertanggung jawab juga, minimal sebagian kehidupan orang lain itu.

Kalau gue...? Gue lebih memilih menjadi gay. Mau orang tua gue rewel kayak apa nyuruh nikah, nggak bakalan gue ikutin.
Pasti gue akan nanya, yang dicari apa? Buat kebahagiaan gue atau kebahagiaan kalian?
Kalau untuk kebahagiaan gue, dengan tidak menikah saja, gue sudah sangat bahagia. Kenapa gue harus menikah?
Bukankah salah satu syarat menikah itu mampu? Mampu bukan hanya harta bukan? Jangan naif laaah. Udah jadi orang tua, masa diajarin anak kecil.
Dan gue merasa nggak mampu.
Kenapa dipaksa?

He's Just Not That Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang