03. Big City Life - Prostitution Trap Part - 5

1.6K 133 21
                                    

Sebuah Villa tidak jauh dari Gimešsky Jarok, Slovakia

Aku terbangun karena dinginnya lantai, tetapi pandanganku masih kabur dan rasa kantukku yang masih sangat kuat, membuatku enggan untuk mengubah posisi tidurku.

Seketika aku teringat kejadian terakhir di pondok kayu yang berada di hutan. Dan saat itu juga aku memaksakan diri untuk bangun, walaupun harus merangkak dan sempoyongan.
Yang pertama aku cari adalah Zen. Walaupun pandanganku masih agak kabur , tapi aku melihat Zen tergeletak tidak jauh dari tempatku saat ini. Aku merasakan detak jantungnya teratur seperti saat dia tidur. Aku berusaha menepuk-nepuk dengan keras pipinya dan memanggil namanya agar dia terbangun, namun dia tidak juga terbangun.
Aku mendengar suara erangan pelan didekatku, yang ternyata itu adalah suara Alan.

Seperti halnya aku, dia merangkak dengan sempoyongan. Aku sudah tidak memperhatikan ke arah mana saja dia merangkak ataupun saat dia berjalan terhuyung-huyung, fokus perhatianku adalah Zen. Aku terus saja berusaha membangunkan Zen.

Tidak berapa lama aku merasa tanganku ditarik dan tubuhku diseret oleh Alan.  Makin lama tubuhku merasakan lantai yang lebih dingin dan basah. Aku menduga, aku diseret Alan ke toilet. Benar saja, aku disemprot dengan air yang dingin sekali dari shower. Butuh waktu lebih dari lima menit membuatku benar-benar sadar. Baju dan celanaku basah dan aku lihat Alan berhenti menyemprotkan air dingin itu setelah melihatku sadar. Kami berdua kemudian mengangkat yang lain menuju toilet, untuk melakukan hal yang sama, dimulai dari Zen.

Setelah semua tersadar, kami kembali ke ruangan tadi, dan aku baru menyadari ternyata ada enam ranjang berjajar. Ranjang tersebut mirip sekali ranjang di rumah sakit dengan roda besi dibawahnya pada era perang dunia kedua, seperti dalam film Pearl Harbour.

Alan mencoba menggedor-gedor pintu kamar yang sudah pasti dikunci dan digembok dari luar.

"Pintu dari besi pula...Sialan!", gumam Alan.

Sementara aku sendiri duduk di tepi ranjang dan Zen juga ikut duduk disampingku. Fadil, Tommy dan Rafael tiduran diatas ranjang. Semua hanya terdiam, tidak ada satupun yang berbicara.

Sedangkan Alan sekarang mencoba membuka daun jendela yang berteralis besi pada bagian luarnya.

Udara dingin malam menyeruak masuk kedalam kamar, begitu daun jendela berhasil dibuka.

"Raf..., baunya kayak di rumah Mami ya? Kalian bau jagung bakar juga gak?", tanya Alan.

Rafael mukanya memucat dengan wajah ketakutan pada saat Alan menyinggung bau jagung bakar.

"Ko...! Jangan nakut-nakutin ah! Serem tau! Serius napa Ko!", bentak Rafael.

Sedangkan Fadil dan Tommy hanya menampakkan wajah tolol dan bingung, mengapa Rafael ketakutan.

"Gue dan Rafa dulu tinggal bareng, gue diasuh Maminya Rafa. Kita rumahnya tidak jauh dari krematorium. Setiap ada pembakaran mayat, baunya seperti jagung bakar. Jadi, dibangunan ini ada ruang pembakaran mayat. Gitu kan Raf?", kata Alan lagi.

Rafael mengangguk pelan.

Fadil dan Tommy masih belum mengubah ekspresi tolol dan kebingungan mereka.

"Kalau yang dibilang Alan bener disini ada tempat pembakaran mayat, berarti dugaan gue bener. Kita disekap, sampai waktunya dipanen organ tubuhnya, setelah itu sisanya dibakar. Biar gak ketahuan aparat.", kataku menimpali Alan.

"Mungkin bisa jadi yang dibilang Ridwan bener. Apalagi kalau tulangnya udah ditumbuk halus, jadi serbuk, udah gak bisa di identifikasi lagi. Selesai...!", timpal Alan lagi.

He's Just Not That Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang