03. Big City Life - Prostitution Trap Part -1

6.8K 208 33
                                    

Janovik, Slovakia

Aku berlari terengah-engah, kadang terjatuh, aku terus berlari. Aku melihat mobil warna hitam berjalan lambat, yang melintas di perempatan tidak jauh aku berlari. Aku mengejar mobil tua warna hitam itu.
Darah yang mengalir dikeningku perlahan merambat mengenai mata dan terasa pedih.
Aku lempar batu ke arah bagasi agar mobil itu berhenti.
Aku sempoyongan berlari dan memegang handle pintu mobil sambil terengah-engah menggedor-gedor kacanya.
"Help me....help me, sir."

..................................................

Sebuah desa, di Cikalong Jawa Barat.

Aku sudah dua tahun lulus dari SMK, aku sama sekali tidak berniat merantau.
Aku lebih suka membantu Bapak di sawah dan merawat ladang yang tidak begitu luas. Biar nanti adik-adikku saja yang merantau.

Selama dua tahun pula aku berusaha sebaik mungkin agar sawah dan ladang Bapakku menghasilkan lebih baik, dibandingkan saat digarap Bapakku.

Sore sepulang dari sawah, aku dipanggil Bapakku.

"Jang dieu! Bapa sarua Mamah hayang pupulih."

"Aya naon Pak? Sepertinya serius?"

Bapakku tertawa.

"Kamu sudah dewasa, bagusnya kamu kawin. Bapak mau jodohin kamu dengan anak teman Bapak. Teman Bapak juga setuju. Bapak sama Mamah sudah banyak bicara dengan orang tuanya. Besok kita kesana, kamu bisa kenalan dengan calon istri kamu?"

"Cantik gak Pak?"

"Cantik, tapi yang penting hatinya yang cantik. Istri yang penurut dan saleha, itu yang utama.", kata Mamah menimpali.

Aku kok jadi khawatir dengan kata-kata Mamah.

"Cantik beneran gak Pak?"

"Besok kamu liat sendiri calon istrimu."

Aku diam dan meninggalkan mereka.

Semalam suntuk, aku tidak bisa tidur. Antara senang dan kuatir. Senang karena aku akan menikah, kuatir karena aku belum tau orangnya.
Aku berharap calon istriku cantik.

Memang jaman sudah modern, tapi aku selalu patuh kedua orang tuaku untuk tidak pacaran. Aku sangat menjaga kehormatan orang tuaku, karena aku berpikir, aku akan mendapat balasan terbaik kelak.

Saat pagi aku tidak sabar untuk bertemu calon istriku. Aku buru-buru ke balong untuk mandi. Aku kenakan baju terbaikku berwarna putih dipadu dengan sarung.
Ahh...aku merasa sempurna saat berkaca didepan cermin. Aku bantu Mamah membawa hantaran.

"Emang tempatnya dimana Mah?"

"Dekat Tasik sana."

"Jauh atu kalau jalan."

"Ya enggak jalan lah. Pendi bentar lagi juga datang. Bapak sewa mobil kemarin."

Aku mengangguk.

Sepanjang perjalanan, aku hanya bisa diam, walaupun Kang Efendi dari tadi mengajakku ngobrol. Ada perasaan ragu, bingung dan kuatir yang membuncah.
Aku hanya pasrah, aku percaya orang tuaku pasti memilihkan yang terbaik.

Saat menapak teras rumah, kami disambut kedua orang tua calon istriku. Mereka terlihat ramah menyambut kami. Terlebih Ibu calon istriku sangat baik saat menyambutku.

Kami duduk di ruang tamu dan dijamu makanan dan minuman yang rupanya sudah disiapkan.
Ibu itu memanggil anaknya yang akan dijodohkan denganku untuk keluar menemui kami.
Aku minum teh panas yang tersedia untuk menghilangkan rasa nervous ku.

He's Just Not That Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang