Part 4

461 74 6
                                    

Hari Jumat akhirnya tiba.

Malia sudah siap dengan perbekalannya berupa ransel, jaket snowboarding warna hijau gelap, dan sepatu boot. Oke, itu agak berlebihan. Tapi, sekarang sudah memasuki musim gugur dan musim gugur di Barnet itu dingin sekali.

Malia memasukkan biskuit, air mineral, senter, dan tali ke dalam tasnya. Ia lalu menemui Laura, Gwen, Scott, dan Matt di belakang sekolah.

"Bagaimana?" tanya Scott. "Sudah siap semua?"

"Ya!" Gwen dan Laura menjawab dengan antusias, sementara Malia hanya tersenyum kecil. Ia sangat gugup dan memiliki firasat yang sedikit buruk tentang keseluruhan ide ini.

Setelah memastikan semua orang siap, mereka masuk ke dalam jeep commander milik Matt. Mereka berkendara selama kira-kira 10 menit, sampai Matt menghentikan jipnya di sebuah bukaan. Di hadapan mereka, pohon-pohon tumbuh dengan lebih rapat.

"Kita masuk lewat sini," kata Scott. "Lalu, kita akan menemukan rumah itu."

"Ini bakalan asyik," kata Laura.

Malia tidak mengerti, di bagian manakah asyiknya ketika kita memasukkan diri kita sendiri ke dalam bahaya.

Setelah memastikan mental mereka siap, Malia dan teman-temannya turun dari mobil, lalu masuk ke dalam hutan. Bahkan di sore haripun, hutan sudah mulai gelap. Daun-daun kering menutupi tanah yang lembap. Suasana hutan senyap.

Scott memandu mereka, sementara Matt berjaga di paling belakang. Malia berjalan di tengah-tengah, bersama Laura dan Gwen. Mereka berjalan terus, kadang-kadang kebingungan di antara pohon-pohon yang hampir sama, tetapi setelah 10 menit berjalan, rumah itu mulai tampak.

Malia bisa melihat air mancur bundar yang besar di dekat pintu masuk. Tidak ada pagar yang mengelilingi rumah besar itu. Dinding-dinding luarnya bercat putih, tetapi warnanya sudah kusam dan banyak cat yang terkelupas. Terdapat banyak jendela, tetapi banyak pula yang sudah pecah.

"Seram," gumam Malia.

Matt menyeringai. "Kau takut, Malia?"

Malia menggeleng. Padahal, sejujurnya, ia lumayan takut.

"Ayo, kita masuk," kata Scott. Lalu, ia melenggang ke depan sementara sisanya di belakang, mengikuti.

Pintu utama tentu saja dikunci. Setelah bertahun-tahun, pintu itu masih tetap berdiri kokoh di tempatnya. Engsel-engselnya sudah karatan, tetapi pintu yang terbuat dari kayu yang dicat itu bahkan tidak lapuk. Mereka mengambil jalan mengitar, lewat pintu belakang.

Pintu belakang juga terkunci, tetapi jendela di sebelahnya tidak. Jendela itu sudah pecah ketika mereka tiba, jadi mereka hanya perlu menyibak gorden tipis dan langsung meloncat ke dalam saja. Dalam sekejap, mereka sudah berada di dalam.

Malia langsung menyalakan senter karena ruangan itu-yang dulunya barangkali dapur, sangatlah gelap dan bau apak.

"Apa selanjutnya?" bisik Malia.

"Entahlah. Kita lihat-lihat?"

Malia sebetulnya ingin berkata bahwa sebaiknya mereka kembali ke mobil, tetapi pasti tidak ada yang mau dengar. Jadi, ia mengikuti teman-temannya dan berjalan terus.

Rumah itu sangat besar. Dari dapur, mereka dihadapkan pada sebuah ruangan yang mungkin dulunya ruang duduk. Terdapat lampu gantung yang besar di langit-langit. Karpetnya terbuat dari beludru, yang kini mengeluarkan bau apak. Hampir semua perabotan rusak dan berdebu.

"Tidak ada yang menarik," kata Laura. "Bagaimana kalau kita ke atas?"

Mereka menaiki sebuah tangga besar. Pegangannya terbuat dari gipsum berwarna putih, yang ada ukiran-ukirannya. Di akhir tangga, mereka dihadapkan pada sebuah lorong yang mengarah ke samping kanan atau samping kiri.

Shattered GlassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang