Prologue

1K 91 6
                                    

"Aduh, darahnya banyak sekali! Tunggu di sini, ya! Aku ambilkan obat dulu."

Malia sedang berjalan-jalan di pekarangan rumah neneknya, ketika tiba-tiba ia melihat seorang anak laki-laki terjatuh dari sepeda dengan keras. Tampaknya, dia tidak melihat sebuah batu besar yang tertutup salju di tengah jalan. Jadi, roda depannya tersandung dan ia pun terjatuh.

Malia kaget. Tapi, refleksnya bagus. Malia langsung berlari masuk ke dalam rumah neneknya, lalu kembali ke tempat si anak laki-laki yang jatuh dari sepeda tadi secepat mungkin sembari membawa kotak p3k.

Anak laki-laki itu hanya menatapnya. Padahal, lutut dan sikunya terluka. Dua bagian itu juga mengeluarkan banyak sekali darah, sampai-sampai cairan berwarna merah kental itu menetes sampai ke aspal di jalanan, dan sampai ke baju serta celananya.

Untungnya, Malia tidak takut darah.

Anak laki-laki itu pasti kesakitan, pikir Malia. Tapi, anehnya, dia diam saja. Dia hanya menatap Malia yang sedang panik, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

"Banyak sekali darahnya," kata Malia sekali lagi, seolah-olah yang dilihatnya belum jelas. "Aku obati, ya?"

Si anak laki-laki hanya diam, jadi Malia berasumsi dia memperbolehkan Malia untuk mengobatinya.

Malia mengambil cairan antiseptik dari dalam kotak p3k milik neneknya, lalu menuang beberapa tetes ke atas kapas. Ia lalu menekan-nekan lutut anak laki-laki itu perlahan-lahan, yang pastinya sakit sekali, tapi anak laki-laki itu bahkan tidak meringis.

Setelah luka yang di lutut bersih, Malia membersihkan luka yang di siku. Anak laki-laki itu lagi-lagi tidak meringis ketika Malia menekan-nekan sikunya menggunakan kapas.

Lalu yang terakhir, Malia membersihkan sebuah luka di pelipis anak itu.

Ketika diperhatikan lebih dekat, ternyata anak laki-laki itu memiliki mata berwarna abu-abu. Dan matanya selalu menatap Malia dengan dingin, seolah-olah dia tidak mau Malia dekat-dekat dengannya.

"Aw," gerutunya.

Malia terkesiap. Dia baru sadar kalau dia menekan terlalu keras.

"Sebenarnya, kau bisa mengobati luka orang, tidak, sih?" hardik anak laki-laki itu.

Malia makin terkesiap. Sudah bagus ditolong. Bukannya minta maaf, tapi kok malah marah-marah? gerutunya dalam hati.

Tapi, Malia tidak ingin bertengkar.

"Maaf," kata Malia pada akhirnya.

Malia kembali menekan pelipis anak laki-laki itu, kali ini dengan lebih pelan dan lebih hati-hati. Setelah itu, ia membalut semua lukanya dengan kapas.

Lalu setelah selesai, Malia menatap hasil pekerjaannya sembari tersenyum bangga.

"Selesai," katanya riang.

Anak laki-laki itu sekarang tersenyum. Tipis sekali, sampai-sampai itu sepertinya tidak dikategorikan sebagai senyuman. Dia lalu berdiri, dan untuk pertama kalinya, dia meringis. Mungkin karena lututnya masih sakit.

Habis itu, bukannya berterima kasih atau apa dia malah langsung naik ke sepedanya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya duduk, bersiap-siap untuk pergi.

"Eh, tunggu!"

Anak laki-laki itu menatap Malia dengan intens, matanya yang abu-abu semakin terlihat cerah di antara keadaan sekitar yang serba putih.

"Apa?" tanyanya.

"Namaku Malia," Malia memperkenalkan diri sembari tersenyum, walaupun si anak laki-laki jelas-jelas tidak memberikan respons yang hangat. "Namamu siapa?"

"Achilles," jawabnya pelan. Kemudian, dia pergi.

Sejak saat itu, Malia tidak pernah bertemu dengannya lagi.

***

Hi! :)

Shattered GlassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang