Part 3

459 68 3
                                    

Kalau-kalau Malia pernah bilang bahwa mengetuk pintu rumah Eros membuatnya sangat gugup, berjalan-jalan di malam hari yang sepi dan gelap bersama Eros membuatnya seribu kali lebih gugup.

Eros selalu berjalan lebih dulu, meninggalkan Malia yang langkahnya lebih kecil daripada langkah Eros. Ketika Eros merasa Malia tertinggal terlalu jauh, Eros akan berhenti sebentar, membiarkan Malia menyusulnya. Lalu ketika jarak mereka sudah tidak terlalu jauh, Eros akan kembali berjalan dengan langkahnya yang besar-besar.

Dan mereka bahkan tidak mengobrol.

Malia terlalu takut untuk membuka obrolan. Biasanya, Malia memang bukan seseorang yang selalu membuka obrolan duluan kalau dengan orang yang belum terlalu dikenal. Tampaknya, Eros juga tidak mencoba untuk mengobrol dengannya. Jadi mungkin, diam adalah pilihan paling bijak.

Mereka sampai kira-kira 10 menit kemudian. Eros berhenti 10 meter dari pintu rumah Malia, sementara Malia sudah menaiki anak tangga kedua. Malia sebenarnya ingin langsung masuk saja dan membiarkan Eros pergi dengan sendirinya, tapi rasanya tidak sopan.

Ketika Malia berbalik, Eros masih di sana.

"Terima kasih, Eros," katanya dengan suara yang pelan. Mungkin Eros mendengarnya, mungkin juga tidak. Malia tidak tahu mana yang lebih baik. "Dan, maaf sudah merepotkanmu. Kau jadi harus berjalan bolak-balik, deh..."

Eros hanya menatapnya dengan dingin. "Sana, masuk."

Malia tidak ingin Eros bersikap lebih ketus lagi, jadi Malia cepat-cepat masuk ke dalam. Ditutupnya pintu rumahnya, kemudian Malia bersandar sebentar di balik pintu. Malia lalu mengintip melalui salah satu jendela yang gordennya tersibak.

Eros masih berdiri di situ, dan—entah Malia salah lihat atau Malia hanya membayangkannya atau itu memang terjadi—Eros tersenyum. Sudut bibirnya terangkat sedikit membentuk senyuman yang samar. Walaupun begitu, itu tetap dinamakan sebuah senyuman, kan?

"Habis darimana?"

Malia terlonjak kaget. Ternyata itu kakak perempuannya yang dua tahun lebih tua daripada Malia, Piper namanya.

"Eh, itu.."

Piper tersenyum penuh arti. Dia lalu ikut mengintip lewat jendela tempat tadi Malia mengintip Eros. "Dia hot," bisik Piper, kemudian dia terkekeh. "Siapa namanya? Dia pacarmu?"

"Eros. Dan dia bukan pacarku."

"Eros?" Piper mengerutkan dahinya. "Aneh sekali. Tapi, terserahlah. Dia benar-benar hot. Kau yakin dia bukan pacarmu? Atau dia bukan seseorang yang kau taksir di sekolah? Atau mungkin dia yang naksir kepadamu?"

Malia hanya mengangkat bahu. Piper memang begitu. Dia lebih pintar dan lebih peduli kalau soal pacar atau penampilan ketimbang Malia. Tapi sayangnya, Malia tidak terlalu tertarik kepada dua hal itu.

"Aku ke atas dulu," kata Malia.

Tanpa menunggu respon dari Piper, Malia cepat-cepat naik tangga, lalu masuk ke kamarnya sendiri.

***

"Yang tadi itu pacarmu, kan Eros?"

"Ya, kan, Eros?"

Setelah Eros pulang dari mengantar Malia dan setelah mereka semua makan malam, Abby dan Alli main di kamar Eros lagi. Abby dan Alli berbaring di samping Eros—Abby di kiri, Alli di kanan. Dua-duanya memeluk Eros dengan tangan-tangan mereka yang kecil.

Walaupun Eros kurang menyukai perempuan, Eros sangat menyukai Abby dan Alli. Dan mungkin, anak-anak kecil yang lainnya. Karena menurutnya, anak kecil itu sangat polos dan jujur. Sementara perempuan-perempuan yang sudah besar terlalu.......palsu. Terlalu dibuat-buat.

Shattered GlassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang