DUA

10.8K 628 33
                                    

DUA

NA SO BOI JINUMPANGAN [Yang Tak Boleh Ditemui]




Akhirnya sampai juga!

Aku menghela napas lega ketika mobilku akhirnya memasuki area parkir kompleks kantor. Seperti biasa, aku disapa dengan gesture hormat oleh Pak Dahlan ketika melewati pos satpam. Tanpa kesulitan berarti, mobilku pelan-pelan melambat ketika berusaha parkir di spot yang disediakan khusus untukku. Direktur Utama, begitu tulisan di palang besi di tempat parkir itu.

Tanpa bermaksud terdengar sombong, aku adalah pemilik sekaligus Direktur Utama perusahaan ini. Setelah cukup lama bekerja sebagai kepala laboratorium R&D (Research and Development) divisi kosmetik Aloe International, aku memberanikan diri untuk mengajukan surat resign dan membuka usaha sendiri. Grandiflora pun lahir enam bulan kemudian, mengawali debutnya dengan body lotion dan bedak tabur beraroma magnolia. Awalnya, jaringan minimarket yang diajak kerja sama hanya berani membeli dalam jumlah sedikit. Body lotion dan bedak Grandiflora yang masih tersisa aku jual lewat situs belanja online—ketika itu aku hanya berpikir, meski nggak terjual banyak pun, seenggaknya jauh lebih baik ketimbang dibiarkan jadi stok di gudang. Nggak disangka-sangka, reaksi pembeli luar biasa. Minimarket itu memesan lotion produknya lagi, kali ini dua kali lipat dari angka pembelian sebelumnya. Benar-benar momen yang sangat membahagiakan! Dan sekarang, selang tiga tahun kemudian, Grandiflora bertumbuh kembang menjadi house name produk kecantikan lokal yang cukup diperhitungkan.

Sebelum keluar dari mobil, aku menggeser posisi spion supaya menampilkan bayangan wajahku seutuhnya. Bermodalkan pemandangan yang terlihat di permukaan kaca, aku memulas bibirku dengan lipstik warna merah anggur (kode warna 25429, Vintage Wine, koleksi lipstik Grandiflora yang baru rilis awal bulan lalu), lalu merapikan tatanan rambutku. Setelah menyemprotkan Sex Bomb (eau de toilette Grandiflora terlaris sepanjang masa, melampaui Tease dan Grand Seduction) di belakang telinga, pergelangan tangan, dan sedikit ke arah rambut, aku siap untuk memulai hari yang sibuk ini. Aku meraih tali kulit perlak Givenchy Antigona-ku sembari menggeser tubuhku sampai kedua kakiku sukses menjejakkan kaki di permukaan aspal kasar parkiran.

Aku melirik pergelangan tangan. Jam tanganku menginformasikan ketika itu sudah pukul sembilan pas. Memang terlambat, tapi nggak seburuk dugaanku sebelumnya ketika mulai terjebak macet tadi. Rapat hari ini penting sekali, mengingat salah satu materinya adalah tentang lini produk baru bernama Floratini, yang rencananya akan menyasar pasar remaja. Aku nggak akan mengakui ini di hadapan para stafku, tapi aku lumayan deg-degan dengan lambatnya progress divisi R&D sekali ini. Padahal Floratini diharapkan sudah akan rilis pertengahan tahun depan.

Aku menghela napas panjang. Lagi-lagi aku melakukan hal yang nggak perlu. Tarik napas, embuskan. Tarik napas lagi, embuskan. Jangan rusak mood bekerjamu dengan pikiran negatif, ujarku dalam hati.


Tapi ketika aku melihat keberadaan Range Rover putih tak jauh dari tempat city car-ku parkir, mood-ku drop lagi. Bahkan plat mobilnya pun aku kenali: B 1189 DOB. Plat nomor cantik sekaligus bermakna personal, merujuk pada hari lahir dan inisial nama pemiliknya.

Ya Tuhan, ngapain sih dia kemari?! raungku kesal, dalam hati saja.


*


Seperti orang bodoh, masih saja aku kaget ketika menemukan sosok cowok itu sedang menunggu di lobi. Matanya mendadak berbinar seperti lampu kabut ketika menyadari kehadiranku. Sesuatu yang membuatku semakin nggak enak hati.

"Hai, Den," sapaku seramah mungkin, bertentangan dengan fakta bahwa bertemu dengan Dennis adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan hari ini. Cowok itu bersetelan jas lengkap dan menenteng tas kerja juga di salah satu tangannya. Perkiraanku, sepulangnya dari sini, Dennis langsung berangkat ke kantornya sendiri. Untuk kamu yang belum tahu, Dennis adalah pewaris tunggal bisnis keluarga Beauchamp, termasuk ratusan gerai restoran fast food ayam goreng yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia.

Dennis Oliver Beauchamp memiliki wajah tampan dan luar biasa menarik, aku nggak akan menyangkal soal yang satu itu. Dia juga memiliki postur tubuh tinggi, 185 cm lebih sepertinya. Aku selalu agak mendongakkan kepala setiap kali bertatap muka langsung dengannya. Dennis memiliki sepasang mata biru dan rambut pirang yang selalu tampak pendek dan rapi, warisan keluarga ayahnya yang merupakan keturunan French-Canadian.

Lekuk tirus tulang pipinya begitu serasi dengan bibir tipisnya, yang dia basahi dengan ujung lidah ketika tatapan kami bersirobok di udara barusan. Tapi bagian yang paling aku suka justru alisnya. Tebal dan ekspresif, memudahkan aku atau siapa pun lawan bicaranya untuk mengetahui apa yang tengah Dennis pikirkan. Seperti saat ini, misalnya. Ada perasaan sedih campur rindu terbaca di kernyitan dahi dan lekuk risau alis tebal cowok itu.

"Bisa bicara sebentar?" Dennis menatapku dan resepsionis secara bergantian.

"Nggak lama kok," imbuh cowok itu lagi, ketika menyadari aku dan Vince Camuto-ku tak beranjak sedikit pun dari tempatku berdiri. "Aku tahu kamu ada rapat penting hari ini."

Dari senyum resepsionis di belakang, aku asumsikan informasi soal rapat itu datangnya dari dia.

"Lima menit—nggak lebih."

Dennis mengangguk setuju.

Aku berjalan lebih dulu menuju pintu depan kantor. Dennis mengikutiku dari belakang tanpa diminta.

Setelah memastikan nggak ada staf maupun office boy di radius dengar, akhirnya aku putuskan untuk langsung bertanya, "Ada perlu apa, Den, bela-belain datang sepagi ini?"

Bukannya menjawab, cowok itu malah menatapku dengan sendu. "Kamu kenapa nggak ngangkat telepon aku? SMS-SMS-ku juga nggak dibalas sama sekali."

"Kamu tahu persis alasannya."

Dennis terdiam. Aku asumsikan dia tahu maksud ucapanku tadi.

Sejurus kemudian, aku mendengar suara helaan napas beratnya sebelum membuat pengakuan jujur di hadapanku. "Tapi aku rindu."

Singkat, padat, dan tepat tujuan. Persis yang sangat aku takutkan. "Den, aku harus naik sekarang. Sudah saatnya untuk rapat."

"Tapi belum lima menit."

"Rapatnya benar-benar penting, Den. Masa depan lini baru perusahaan aku ditentukan hari ini." Khusus bagian terakhir memang aku agak melebih-lebihkan. Tapi aku benar-benar desperate ketika itu. Aku harus pergi—

"Please—"

Aku merasakan genggaman erat cowok itu di tanganku. Reaksi refleks tubuhku adalah menepisnya dan menjauh dari cowok itu.

"NO!" Tak hanya aku, Dennis pun sama kagetnya denganku. Aku menelan ludah, lalu membasa bibirku dengan ujung lidah. "No," ulangku, kali ini dengan suara lebih lembut. Sedikit memohon, malah. "Jangan membuat situasi jadi lebih buruk, Den. Evita adalah teman baikku dan kamu adalah tunangannya. Let's just leave things the way it always is."

Dennis benar-benar terpukul sampai tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Ekspresi yang terakhir aku lihat sebelum membalikkan badan dan setengah berlari kecil menuju pintu depan. Ya, aku memang pengecut. Tapi hanya itu satu-satunya cara untuk mengambalikan segalanya seperti adanya semula.

Please forgive me, Den, bisikku nyaris tanpa suara ketika menggunakan sebelah bahuku untuk mendorong pintu kaca dan kemudian menyelipkan tubuhku sendiri hingga kembali berada di lobi Grandiflora.


---

Keterangan visual: Clement Chabernaud sebagai Dennis

---

Pariban belum nongol, udah ada tokoh baru lagi.

Haghaghag!

Abang lagi semangat nih nulisnya. Yang sabar ya nungguin update-nya.

CHRISTIAN SIMAMORA

---




SWEET PARIBANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang