TOLU

9.8K 622 83
                                    

TOLU

UNANG MOMAR SIMALOLONGMU, PARIBAN. [Matanya tolong jangan jelalatan ya, Pariban.]



Siang itu, aku putuskan menepis kejenuhan dengan mendengarkan musik dari sembarang CD yang kukeluarkan dari laci dashboard. Ah, Hilary Duff—I like her.

Track pertama mengalun dengan volume suara sedang di CD player, sementara mataku kembali memusatkan konsentrasi ke jalanan di depan. Tol menuju bandara di jam segini memang sudah biasa macet dan aku pun sudah menyiapkan diri untuk itu. Lagian, aku juga butuh waktu menyendiri untuk merenungi yang terjadi tadi.

Sangat, sangat buruk—kesimpulan rapat pagi ini. Nggak hanya konsentrasiku buyar karena belum 'sembuh' akibat pertemuanku dengan Dennis, emosiku pun lepas kendali. Sampai rapat berakhir, bawaannya marah-marah terus. Di rapat tadi, nggak sedikit pun terbersit di pikiranku bahwa emosiku membawa aura negatif bagi para peserta rapat. Sebaliknya, rasanya puas sekali bisa melampiaskan kekesalan yang kutahan-tahan selama ini. Aku makin pesimis lini Floratini bisa selesai tepat waktu, tapi di sisi lain kami juga nggak punya bumper produk baru untuk menggantikannya. Aku bisa memahami alasanku marah-marah itu, tapi sekarang aku agak menyesalinya. Emosi meluap-luap seperti tadi hanya akan mengintimadi karyawan dan bukannya memotivasi produktivitas mereka.

*sigh*

Drrt, drrt. SMS masuk.


Sudah sampai bandara kau, Boru? Ketemunya kau sama si Lukas?

Pengirim: Bapak


Aku menghela napas panjang dan berkali-kali melirik ke layar handphone, beberapa kali membaca ulang SMS bapakku yang berbahasa Indonesia tapi kebatak-batakan itu. Nanti aja ah balesnya, pikirku. Toh buat apa juga, belum ketemu ini.

Lebih baik kita bahas si Lukas ini saja. Sampai di mana kita tadi? Oh, tentang dia datang ke Indonesia untuk tugas akhir kuliahnya. Mamak bilang, Lukas dan mahasiswa lain masing-masing diwajibkan untuk menghasilkan performance orisinal yang nantinya akan dinilai oleh dosen-dosennya. Jadi ceritanya, Lukas bermaksud melibatkan musik tradisional untuk performance-nya itu. Rada nyari masalah sih, menurutku. Kota yang dia tinggali kan lumayan indah—aku cek pakai Google—jadi sulit dipercaya, pesonanya nggak bisa menginspirasi Lukas untuk menghasilkan karya masterpiece-nya. Nggak perlu lah nyari inspirasi jauh-jauh sampai terbang ke sini segala.

Tapi sekali lagi, ini kan pendapatku—si orang yang senang simpelnya saja. Jelas sekali paribanku ini tipe ideal yang senang merepotkan diri. Good luck for him deh kalau begitu.

Fiuh. Akhirnya sampai di depan bandara juga.

*

Sebelum keluar dari mobil, aku sempat menyiapkan papan nama untuk memudahkan Lukas mengenaliku. Pakai yang ada saja sih, dari halaman depan bahan rapat tadi. Aku menggunakan sisi yang kosong dan menulisinya dengan: LUKAS PARNINGOTAN SITORUS. Memang harus besar-besar begini supaya si pariban bisa lihat.

Tapi ketika sampai di pintu keluar penumpang di bandara, suasananya jauh dari bayanganku sepanjang perjalanan tadi. Aku langsung berdebar-debar dan hal paling masuk akal di situasi ini adalah mengecek jadwal penerbangan.

Semoga saja nggak seperti firasat jelekku—SHIT!

....

....

SWEET PARIBANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang