WALU

7.2K 528 119
                                    

WALU

PUKIMAK [Motherf*cker]


POV LUKAS

Kepalaku masih pusing karena jetlag dan keinginan untuk bertahan di tempat tidur sedikit lebih lama. Tapi kemudian aku ingat sedang tinggal menumpang di rumah saudara dan aturan merekalah yang berlaku di tempat ini. Belum lagi, lima belas menit lalu, Nantulang menghubungiku via saluran internal, mengabari kalau sarapan di rumah ini adalah pukul setengah tujuh. Which is artinya lima menit lagi.

Dengan segenap kekuatan yang kupunya, aku mengusahakan tubuh dan mood-ku untuk bangkit dari tempat tidur. Ketika berdiri, barulah aku menyadari kalau tanganku masih menggenggam handphone. Mati karena habis baterai—syukurlah. Kalau nggak, kemungkinan besar tadi aku akan membaca ulang SMS Anna yang bikin galau itu.

Aku baru saja membuka pintu paviliun ketika menemukan Pariban sedang duduk-duduk di chaise pinggir kolam. Dia sudah berdandan rapi dan mengenakan two-piece pakaian kantoran. Jelas dia nggak duduk-duduk di sana dalam rangka menikmati udara pagi dan meraup sebanyak-banyaknya ultraviolet dari matahari pagi.

"Horas, Iban!" sapaku sambil tersenyum. Cewek itu malah mencelat cepat dari duduknya dan berjalan menghampiriku. Bukan itu saja, tangan kanannya mencengkeram kerah kausku dan menariknya kasar beberapa langkah dari pintu paviliun.

"Ada apa?" kataku spontan, setengah bertanya, setengah nggak terima karena diperlakukan seperti sapi yang mau disembelih.

"Gue butuh ngomong yang penting sama lo." Nada suara Pariban ketus dan nggak ramah. Hanya orang bodoh yang nggak tahu kalau ini adalah konfrontasi.

"Nggak bisa nunggu setelah gue nyapa Tulang dan Nantulang dulu?" tanyaku lagi. "Ini hari pertama gue tinggal di rumah lho. I have to show them that I'm a good houseguest."

Pariban malah mendengus kasar. "Alah, nggak bakal lama kok!"

"Fine—tapi lepasin dulu tangan lo dari kaus gue." Pariban terdiam beberapa saat sebelum menuruti permintaanku. Sekarang, setelah mundur selangkah untuk memberi ruang yang cukup di antara kami berdua, aku melipat tangan di dada. "You got my full size attention now. Mau ngomong apa?"

"Gue merasa perlu mengklarifikasi omongan ASAL CONGOR lo tadi malam." Dia menaikkan sebelah alis. Maksud lo apa ya bilang gue tipe lo segala?"

Alih-alih tersinggung dikasarin begitu, aku malah tertawa terbahak-bahak. "Astaga, Pariban! Seriusan lo masang tampang serius gitu hanya karena becandaan gue?"

Butuh sepersekian detik bagi Pariban-ku yang judes itu untuk menalar ucapan barusan. "Wait, what? BECANDA?!"

"Iya." Aku terkekeh lagi. "C'mon, mau sampai kapan lo ngira gue bener-bener nganggep lo tipe gue."

"Berengsek!" Dia mendorong dadaku lumayan keras. Untung aku nggak sampai terjungkal ke belakang. "Gini-gini gue banyak yang mau tauk!"

"Congrats on your success," aku tersenyum sinis, "Gue yakin Guinness World Record udah nggak sabar pengen masukin pencapaian hebat lo itu di bukunya."

"Pukimak!" maki Pariban. Aku sudah cukup lama jadi orang Batak untuk menyadari makian ala terminal itu.

"Jadi gimana, udah clear toh?" Aku menyeringai untuk membuat dia tambah sebal. "Gue udah bukan sandera lagi toh? Gue udah bisa sarapan kan sekarang, Nyah?"

Pariban mendecak-decakkan lidah. "Gue ternyata salah besar sama lo. Gue kira lo tipe yang tenang-tenang menghanyutkan, nggak tahunya tenang-tenang air comberan!"

SWEET PARIBANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang