Semilir hembusan angin sore yang sepoi-sepoi, menggoyangkan ilalang hingga bunganya terbang tersapu angin. Baik Vano dan Keira, sama-sama menikmati hembusan angin bukit dengan cara yang berbeda-beda.
Terpana, hanya itu satu-satunya kata yang dapat mendeskripsikan bagaimana Keira menatap Vano yang memejamkan mata damai, menikmati hembusan angin yang menerpa wajah dan rambutnya hingga bergerak-gerak seperti rumput yang bergoyang.
Rasanya, organ yang berukuran se-kepalan tangan itu ingin lepas dari tempat dada kiri Keira saat Vano kini menatapnya. Begitu juga Vano, jantungnya lagi-lagi memompa dengan kecepatan super dahsyat saat ditemukannya wajah polos tanpa kacamata yang mengekspos bebas iris cokelat Keira. Anak rambut yang berguguran karena terpaan angin, terjuntai bebas menambah kesan cantik untuknya.
Bahkan Vano merasakan tubuhnya berada di luar kendali pikirannya, seperti dibajak setan yang menggerakkan organ tubuhnya secara otomatis. Tangannya terulur, menuju wajah cantik nan polos itu. Meraih anak rambut yang terjuntai bebas di pipi Keira dan mengaitkannya di telinga gadis itu.
Keira yang menyaksikan perbuatan itu hanya mampu terdiam kaku, hanya bagian dalam dada kirinya yang lentur berdetak cepat. Detakan itu semakin cepat saja saat Vano menampilkan senyum yang sangat sulit diartikan Keira. Dapat dirasakannya hembusan hangat napas dengan bau mint milik Vano menerpa lembut wajahnya. Sungguh, ingin rasanya ia membeli tangki oksigen, merasa pasokan oksigen disekitarnya menipis saat wajah Vano sangat dekat dengannya. Bahkan tinggal beberapa senti lagi menempel.
Keira benar-benar tak bisa bernapas sekarang, napasnya tertahan tak tahu bagaimana cara bernapas. Begitu pula matanya melebar seketika saat dirasakannya bibir Vano mendarat dan menempel dengan lembut dibibirnya.
Sama-sama dibajak setan, Keira ikut memejamkan matanya ketika Vano mulai memejamkan mata tanpa memikirkan apapun lagi. Beberapa detik tanpa reaksi, Vano mulai menggerakkan bibirnya kecil, begitu juga Keira yang membalasnya beberapa kali. Hingga beberapa detik kemudian mata mereka sama-sama terbuka layaknya sebuah kilat yang membawa kesadaran. Menyebabkan mereka secara serempak melepaskan ciuman itu, dan akhirnya secara serempak pula mereka memalingkan wajah ke sisi yang berlawanan, menyembunyikan semburat merah padam di pipi masing-masing.
Keira merutuki dirinya yang terbuai dengan dirinya tadi, seharusnya ia langsung mendorong dan memukul Vano yang berani-beraninya mencium dirinya. Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur, ia tidak bisa menghajar Vano sekarang. Bagaimana ia bisa menghajar Vano yang nyatanya ia sendiri terbuai dengan ciuman itu, bisa-bisa Vano akan menjadikan itu sebagai bahan candaannya. Keira amat sangat tidak dapat membayangkan itu.
Sepuluh menit telah berlalu, namun suasana bukit di sore hari yang sejuk ini terasa sangat panas pada dua belah pihak korban bencana hembusan angin bukit. Baik Keira maupun Vano masih terdiam canggung dengan keadaan, mengingat betapa tiba-tibanya bencana seperti itu terjadi.
Tak tahan berdiam lama membuang waktu, Vano mulai bersua memecah keheningan panas nan canggung yang dihadapinya bersama Keira.
"Ekhm." dehem Vano. "La, kok lo diam aja sih? Emang kita enggak jadi buat tugas Bahasa Indonesia-nya?" Tanya Vano seolah tak terjadi apapun sebelumnya.
"Eh? Itu... em... jadi dong." kata Keira.
Melihat dan mendengar topik pembicaraan Vano yang seolah tak terjadi apapun, membuat Keira juga ikut bertindak seolah tak terjadi apapun untuk menghilangkan suasana canggung ini. Sungguh ia tidak tahu harus berbuat apa, ini diluar kewaspadaannya. Ia bersumpah, lain kali jika Vano melakukan hal nekat lagi, ia akan menyemprotnya dengan kata-kata, bila perlu memukulinya sampai bonyok - walaupun ia sendiri tak yakin bisa menang dari Vano.
"Ya udah kita bagi dua aja tugasnya, elo nyari unsur ekstrinsik dan intrinsiknya dan gue yang buat power pointnya, gimana?" tanya Vano.
"Oh iya udah, mana bukunya?" ucap Keira. "Biar gue langsung cari sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Genius
Teen FictionYang Keira inginkan adalah merasakan kembali hangatnya kekeluargaan yang sudah membeku sejak usianya 9 Tahun. Jatuh bangun ia menanti kembalinya kehangatan itu. Dalam penantiannya ada Vano, dan teman-teman serta gurunya yang memberikan setitik kehan...