Ngui... u... ngui... u...
Suara sirine polisi polisi membuat semua remaja yang asyik berkumpul ria langsung kabur dari TKP menggunakan kendaraan mereka.
Termasuk juga sepasang faker yang baru sampai di arena, Vano dan Keira atau Richard dan Salsa.
Untuk kesekian kalinya sejak beberapa bulan lalu, Keira dan Vano kembali gagal adu balap di arena balap liar karena berbagai hambatan yang terjadi.
Kembali ke mobil ferrari yang di bawa Vano, disana sudah ada Vano yang duduk di kursi samping pengemudi dan Keira di kursi pengemudi - mereka tukar posisi saat mendengar sirine mobil polisi, lebih tepatnya semenit setelah mereka sampai di arena.
"Sa, lo mau terbang apa nyetir?" tanya Vano.
"Sst, gue lagi balapan sama polisi. Mending lo diam, gue enggak mau berakhir di kantor polisi, bisa-bisa mati digorok gue." Ucap Keira tanpa mengalihkan pandangan dari menyetirnya.
Pantesan aja dia selalu menang, orang kecepatannya selangit gini. Berasa diajak terbang tau gak. - batin Vano saat melirik kecepatan laju mobil yang Keira kendarai.
Vano pun memilih diam, membiarkan Keira konsentrasi pada acara balapnya dengan polisi yang tertinggal jauh di belakang mereka.
***
Kerlap-kerlip lampu kota, menjadi suguhan mata yang indah di malam nan dingin ini.
Keira dan Vano bersender di pagar yang membatasi jembatan dengan lembah di bawahnya.
"Gila, pantesan aja lo menang terus kalau kecepatan yang lo pake kayak orang mau terbang." Vano memulai percakapan diantara mereka.
"Terus lo nyuruh gue jalan pelan kayak siput dan ujungnya berada di kantor polisi, gitu?"
"Bukannya gitu," ucap Vano. "Eh tapi, kok lo bisa jago gitu sih, diajarin sama siapa?"
"Gak ada."
"Bohong."
"Seriusan, gak ada."
"Gak mungkin, pasti ada sebab-akibatnya, kalau akibatnya jago balap, pasti ada sebabnya." Vano memulai private terselubung.
"Emosi kali." jawab Keira asal.
"Hah, emosi?"
"Iya, emosi."
"Terus yang tadi karena emosi, gitu?"
"Bisa jadi."
Huft. Vano menghela napas lelah, dan keadaan pun menjadi hening, hanya desis angin yang berhembus dengan setia memecah keheningan diantara mereka yang menikmati pemandangan kota pukul 11.00 malam hari. Sampai akhirnya Vano memecah keheningan diantara mereka.
"Sa, gue suka sama lo."
Keira yang mendengar ucapan Vano pun menoleh pada pusat suara. Didapatinya Vano yang menatap lekat dirinya.
"Gue bosen dengarnya, ada yang lain enggak?" ucap Keira. Ia mengalihkan pandangannya dari Vano, kembali menatap kota malam.
"Sa, gue cinta sama lo."
"Itu sama aja bego." Keira menempeleng kepala Vano yang diterima pasrah oleh si empu kepala - menempeleng adalah kebiasaan Keira dalam mode Salsa.
Bukannya bagaimana, Keira yang sebagai Salsa sudah amat sering mendengar pernyataan cinta dari Vano alias Richard dan ia juga tidak begitu tertarik pacaran, perjalanan hidupnya masih terlalu singkat jika harus berpacaran dan ia juga belum mengenal Richard maupun Vano. Terlalu banyak kepalsuan dan rahasia diantara mereka. Salah-salah, nanti akan menyakitinya. Terlalu banyak drama yang menyajikan serial sakit hati dari berpacaran, perselingkuhan misalnya.
"Salsa, gue suka sama lo, cinta sama lo, gue udah ngegebet lo hampir dua tahun, jadi lo maukan sama gue?" ucap Vano menangkup wajah Keira dan menatapnya lekat, sedangkan Keira kembali mengalihkan pandangannya.
"Vano, udah deh!"bentak Keira.
Keira hendak kembali ke mobil, namun tangannya ditahan Vano. Mau tak mau Keira berbalik dan menatap Vano.
"Sa, masa lo tega sih sama gue, gue itu suka sama lo, cinta sama lo, gue udah nge-gebet lo dari hampir dua tahun lamanya, dan bahkan, bahkan tadi siang kita ciuman, ya... walaupun itu bukan first kiss lo yang udah diambil sama tuh anak baru rese, tapi gue tetep cinta kan, jadi, please, be mine." Vano menatap manik cokelat Keira dengan tangannya menggenggam erat tangan Keira dan tentunya, dengan pipi yang memerah namun terlihat samar kerena merkuri.
Malang untuk Vano, tanpa sepengetahuannya dia kembali mengundang mood buruk seorang Keira Willa Adee, dengan mengungkit masalah besar hidupnya. Masalah malam itu, masalah Josh yang mencium Keira.
Keira menyentakkan genggaman tangan Vano, membuat sang empu tangan terkejut. "Please deh enggak usah ngungkit-ngungkit itu, lo pikir gue seneng dicium sama dia? Lo pikir gue bangga dicium sama dia? Gue benci, gue benci harus dicium sama dia, sama kakak gue sendiri yang bahkan enggak tahu kalau yang diciumnya itu adiknya sendiri, adik kandungnya, saudara tiga menitnya. Gue benci Van, gue benci, gue berusaha ngelupain semua itu, tapi kenapa lo ngingetin gue terus, Van? Kenapa lo terus ngingetin gue akan masalah itu? Hah?" Ia menatap Vano dengan amarah yang meluap-luap ditambah mata yang berkaca-kaca.
Belum pulih dari keterkejutan karena hentakan tangan Keira, Vano yang mendengar ucapan Keira menjadi memaku di tempat, tak tahu harus bagaimana. Alhasil hanya matanya yang menatap Keira tengah menutup mulutnya menggunakan sebelah tangannya--yang menurut Vano mungkin Keira sadar telah mengatakan apa yang seharusnya tak dikatakan.
Dengan lembut, Vano menarik Keira ke pelukannya, "Sorry." kata Vano ambigu, entah maaf untuk memeluk Keira atau maaf karena mengundang mood buruknya.
"Gue tahu ini berat buat lo, lo bisa menangis untuk meringankannya, enggak apa-apa nangis aja, atau lo mau teriak juga enggak apa-apa, lo mau curhat juga boleh, gue ada buat lo." ucap Vano seraya mengusap punggung Keira.
Tangan Vano yang setia mengusap-usap punggung Keira dengan pelan dan penuh perasaan, mampu meluluhkan ego Keira yang mati-matian tak ingin menangis di depan siapa pun --kecuali Alan dan Alen-- akhirnya menangis sesegukan di pelukan Vano.
"Nangis aja, La." ucap Vano lagi, kini tangannya membelai lembut kepala Keira saat Keira menangis semakin sesegukan walau pinggangnya terasa sakit di cengkram Keira yang membalas pelukannya.
Beberapa menit mereka dalam posisi itu, sampai akhirnya Keira melerai pelukan mereka dan menyeka sisa air matanya.
"Udah nangisnya?" tanya Vano memastikan, ia menangkup kedua pipi Keira.
"Hm, thanks." jawab Keira dengan suara sumbang khas orang selesai menangis.
"Lain kali, lo kalau punya masalah bisa cerita sama gue, gue aman kok, enggak ember, suer." ucap Vano dengan mengacungkan dua jarinya.
"Thanks."
"Ya, udah kalau gitu kita balik. Kita harus istirahat sebelum menyambut badai besok."
"Hah, badai?"
"Iya badai." jelas Vano.
"Badai apaan?"
"Liat aja besok. Yuk sekarang kita pulang, lagian muka lo udah hancur karena bedaknya luntur." ucap Vano yang sontak membuat Keira menangkup wajahnya.
"Gak usah ditutup-tutupin, gue udah liat aib lo."
Vano pun mengamit leher Keira dan menuntunnya paksa menuju tempat parkir mobil yang mereka kendarai -- walau ia tersiksa di sepanjang perjalanan itu karena di tabok habis-habisan oleh Keira yang kesakitan karena diamit lehernya.
Terlalu banyak drama yang menyajikan serial sakit hati dari berpacaran, perselingkuhan misalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Genius
Teen FictionYang Keira inginkan adalah merasakan kembali hangatnya kekeluargaan yang sudah membeku sejak usianya 9 Tahun. Jatuh bangun ia menanti kembalinya kehangatan itu. Dalam penantiannya ada Vano, dan teman-teman serta gurunya yang memberikan setitik kehan...