Satu

5.4K 365 25
                                    


[DIREVISI]


Tujuh tahun kemudian

            Hari ini adalah hari perdana bagi Selly dan Sully melangkahkan kaki mereka di SMA Falsafah Bangsa. Bukannya anak kelas sepuluh yang baru merasakan kisah SMA, melainkan murid pindahan yang baru saja memulai untuk beradaptasi terhadap lingkungan barunya. Apalagi mereka sudah kelas dua belas, rasanya hapal dengan seluk-beluk hal yang terjadinya pada masa putih abu-abu tersebut. Dan, sebentar lagi semua itu hanya akan tinggal kenangan.

Ketika melangkah menelusuri koridor, sesekali Selly celingukkan untuk memperhatikan secara singkat beberapa sudut bangunan yang selama satu tahun ke depan akan menjadi sekolah tetapnya, tempatnya menghabiskan akhir dari masa-masa seru—setidaknya kata orang, karena menurut Selly masa SMA yang ia jalani tetap datar-datar saja. Kali ini, seperti biasa Selly begitu anteng persis cerminan penampilannya yang simple, ditambah dengan wajah natural tanpa olesan apapun itu tidak melunturkan paras cantik yang ia miliki. Sebenarnya dia tidak cantik-cantik amat, hanya saja wajahnya terlihat manis sehingga siapapun yang melihat tak kunjung merasa bosan.

Merasa puas mencuri pandang ke beberapa sudut Falsafah Bangsa, setidaknya Selly dapat membedakan jika sekolah ini tidak jauh berbeda dari sekolah-sekolah biasa pada umumnya. Dengan warna dominan putih dan pilar-pilar berukuran sedang di sepanjang koridor tidaklah membuat bangunan tersebut tampak asing.

            Berbeda dengan Selly yang tadinya sibuk mengamati keadaan sekitar, Sully malah heboh membenahi dirinya sendiri. Beberapa kali cewek itu merapikan tatanan rambut, membenarkan lengan baju yang sedikit ia gulung, mengendurkan dasi, dan beberapa hal tidak penting—menurut Selly—lainnya.

Well, hari ini mereka tampil berbeda. Selly memutuskan untuk memotong rambutnya yang panjang menjadi sebahu—yah kurang lebih begitu—alasannya agar orang-orang yang mengenal dirinya dan Sully dapat membedakan mereka. Berbeda dengan Selly, Sully tetap pada rambut panjangnya, ia tidak rela jika rambut indahnya itu dipotong pendek. Karena, bagi Sully rambut panjang itu ibarat simbol ke-feminine-an seorang cewek, dan juga secara pribadi dia sudah terlalu cinta dengan rambutnya sendiri.

Selama melintasi koridor untuk menuju kelas baru masing-masing, beberapa pasang mata sibuk memandangi mereka dengan penasaran. Bahkan, Selly dan Sully sudah hapal dengan situasi seperti ini, mereka diperhatikan karena 'mirip' dan 'sulit dibedakan'. Hal tersebut tentu sering terjadi sejak mereka bersekolah ditaman kanak-kanak dan sepertinya akan terus berlanjut.

Tanpa terasa, Sully pun  akhirnya sampai di depan pintu kelasnya. Tidak menunggu waktu lama, ia membuka kenop pintu dan masuk ke dalam, sekejap seisi kelas menatap ke arah pintu tempat ia berdiri. Sully hanya tersenyum kecil dan berjalan dengan santai menuju bangku yang salah satu bangkunya kosong dan berada di barisan ke dua deretan ke tiga. Kali ini dia tidak satu kelas dengan saudari kembarnya itu, dan rasanya sedikit aneh mengingat mereka yang selama ini selalu duduk dalam satu kelas yang sama. Tapi, tidak baik juga sih kalau selalu berdua seperti itu, pikir Sully.

Entah apa yang membuat banyak orang memandangi Sully, layaknya mengantar pandangan sampai cewek itu berhenti melangkah dan duduk di bangkunya sendiri. Sully tersenyum jahil. "Oh my god.. please!.. lo semua pada ngapain sih liatin gue segitunya? well, gue tau kok kalo gue itu cantik," Katanya dengan percaya diri seraya mengibaskan rambutnya dengan bangga.

Seisi kelas hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Sully. Apa-apaan dia?  Walaupun anak baru, tetapi cewek itu bersikap sok akrab, padahal belum ada satu pun siswa di ruangan itu yang ia kenal, namun sikapnya sudah SKSD tidak jelas.

"Hai! Gak keberatan kan, kalo gue duduk sama lo?" Kata Sully, dengan penuh senyum. Ia menyapa ramah sosok yang akan menjadi teman sebangkunya.

"Kenalin! gue Wanita Sully Irfindara.. panggil aja Sully si cewek cantik, jujur, baik hati, dan ceria!" Sully kembali mengembangkan senyum dan menghela rambutnya ke depan, seakan memelintirkan rambut-rambut itu dengan jemarinya.

Di Antara [Sedang dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang