Almost Is Never Enough

60 4 0
                                    

Almost Is Never Enough

Aku memandang ponselku yang berisi pesan-pesan manis darinya. Masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, aku masih tersenyum membaca pesan ini. Meski tak pernah ada kata cinta yang terucap tetapi aku masih mencintainya. Dari dulu hingga saat ini.

Masa SMA yang indah, dimana kami bertemu. Kami selalu bersama, meski tidak di takdirkan bersama. Setidaknya kami pernah merasakan apa itu cinta bagi satu sama lain. kami bersahabat. Meski di sekitar kami selalu berkata bahwa persahabat diantara lawan jenis tak pernah murni persahabatan pasti ada hal yang lain.

Awalnya kami menertawainya, kini kami menelannya. Cinta memang ada dan nyata diantara persahabatan kami. kami pernah saling menyukai, kami mengungkapkannya. Tapi tak pernah berlanjut. Cepat atau lambat, kami akan tahu jawabannya.

Awalnya aku menyesali sikapku yang hanya menunggunya tanpa pernah mencoba memulainya. Kadang aku menyalahkan takdir yang mempermainkan kami.kadang aku menyalahkan semuanya. Ya hanya sampai disini tak pernah dan tak mungkin lebih. Meski kami saling menolak perasaan ini. Meski kami saling memandang orang lain tuk mengalihkan perasaan ini.

Tapi kita tidak pernah tahu dimana hati ini akan jatuh. Tak pernah. Tak aka nada yang tahu siapa jodoh kita. Tapi kita telah mencoba. Meski harus menyalahkan kehidupan. Meski kenyataannya kami tidak harus bersama.

Jika aku bisa mengubah semuanya dalam satu malam. Aku ingin menulis kisah yang indah untuk kami. meniadakan perpisahan. Dan kamu akan berada di tempatmu yang seharusnya, ya disisiku."Siska,"aku tersadar. Itu hanya masa lalu. "Ya?" aku menatap mata coklatnya seakan tenggelam di dalam pekatnya.

"Bisakan jadi wedding singer gue, sibuk ga?" dia orangnya. Orang yang masih menyimpan hatiku. "Sis, jangan bengong!" aku mengerjapkan mata. "Sorry, kantor lagi sibuk. Apa tadi?" tanyaku mengalihkan perhatian. "Singer, di nikahan gue yaa. Lo kan tahu selera gue, sekalian irit biaya," dia menyeringai. Seringaian yang dulu sering ia lukiskan saat menggodaku.

"Oke, tapi makan siang 2 bulan lo yang traktir,"kekehku. Dia ikut tertawa dan menggelengkan kepala. "Makan siang doang? Siap!" dia mengacak rambutku gemas. Kami terdiam. "Kapan nyusul gue?"tanyanya dengan nada serius. Aku mengangkat bahu tak peduli. Ini topik sensitive dan dia paham.

"udah waktunya move on, jam terus berdetak." Aku memandangnya, seakan memintannya berhenti. "Gue tahu kok, cowo yang selalu lo ceritain, kisah cinta yang belum selesai. Itu kita kan?" tanyanya. Aku masih terdiam, seakan lidahku hilang. "Ya, dulu kita emang pernah ada ditahap saling suka, meski sama-sama nolak perasaan itu. tapi Sis, saat gue udah keluar dari pintu itu, lo juga harus melakukan hal yang sama. Keluar dang a pernah noleh." Aku seperti di cekik. Aku menahan air mata ini.

"Berat," keluhku. Dia menaikkan alisnya. "Lo orang pertama yang bisa nerima gue. Terima siapa gue, ke gilaan gue, obsesi gue, nakal gue, isengnya, joroknya, yah yang buruk lo terima tanpa pernah mencela. Dari dulu gue kira kita yang bakal ada di posisi ini." Lanjutku.

"Ya, gue juga berat awalnya, tapi saat mengenal Citra, gue yakin dia yang dampingin gue kedepannya. Mungkin karena gue dan dia ketemu di usia yang lebih matang. Lo harusnya begitu. Belajar buka hati, belajar nerima kritik. Hal buruk yang lo punya keunikkan bagi gua. Dan mungkin lo akan bertemu dengan seseorang yang menganggap hal buruk lo itu spesial baginya." Dia mengambil nafas berat.

"Karena setiap manusia pasti mendapat yang terbaik hanya kadang manusia itu terlalu lelah untuk mencari dan menunggu." Kami terdiam. Aku seakan tenggelam dengan kata-katanya.

Mungkin dia benar. Ini saatnya aku keluar dari pintu yang sama dan tak pernah menoleh. Mungkin ini akhir dari penantianku.


Cerpen AlphabetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang