CHAPTER 2

408 34 0
                                    

[EDITED]

Derra POV

Kakiku melangkah memasuki bangunan tua itu dengan santai. Pagi ini, suasana masih tampak lenggang. Mungkin yang lain masih asyik bergelung di pulau kapuknya.

Kabut tipis masih menyelimuti bagian atas bangunan putih yang sering kukunjungi sejak beberapa bulan yang lalu. Bangunan putih yang terkesan tua, tapi tetap terawat sehingga nampak klasik—Bangunan sekolahku. Logo sekolah menyambutku ketika aku mulai menjejak lapangan hijau yang luas di dalamnya.

Aku terus mengayunkan kakiku bergantian tanpa memedulikan dingin yang mencoba menyergap seragam putihku yang tidak terlalu tebal. Kuabaikan derit pintu tetbuka dan tertutup yang mencoba mengusikku—posthink, mungkin angin—aku terus melangkah. Melalui koridor depan kelas-kelas, melewati laboratorium fisika—bagian tengah sekolah ini—hingga sampailah aku pada lapangan belakang yang luas dan tampak tak terurus.

Gesekan ranting-ranting yang timbul dari tiupan angin pagi menimbulkan musik indah yang memberiku ketenangan tersendiri. Daun-daun berkejaran mengikuti angin yang membawanya gugur. Rumput-rumput setinggi lutut menari mengiringinya. Pagi yang sempurna.

Aku melangkah melewati tumpukan daun-daun yang dibiarkan menumpuk begitu saja di jalan setapak. Menuju tempat terfavoritku di sekolah ini sebelum perpustakaan.

Aku duduk di sebuah bangku semen kecil—tempat favoritku— yang tersembunyi di balik pohon. Seolah mencoba menyembunyikan tubuh kecilku dari dunia, meskipun aku tahu itu sia-sia.

Aku mendengar suara derap kaki dari balik punggung. Langkah yang terdengar mantap tanpa ragu. Gesekan-gesekan sepatunya dengan daun-daun kering membuat aku tahu, dia mendekat. Dengan cepat aku merapat ke arah pohon. Dia tak akan melihatku. Hingga aku mendengar langkah itu berhenti, aku bernapas lega.

Kutolehkan kepalaku dari balik pohon. Dan aku dapat melihatnya. Dia yang selalu kuperhatikan, dengan kaca mata minusnya yang selalu bertengger manis pada hidungnya yang tak terlalu mancung. Kulit putihnya tampak semakin pucat kerena hawa dingin di sekelilingnya. Matanya yang hitam tampak fokus mengikuti barisan-barisan kalimat pada jurnal didepannya. Dan seperti biasa, aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan. Tetap memesona seperti biasa.

Angin dingin pagi ini terus berhembus membuat buku-buku jariku memutih karena aku meninggalkan sweater biru kesayanganku dirumah. Kugosokkan kedua telapak tanganku cepat, mencoba mengusir dingin yang mulai merayap ini. Dengan tangan yang agak gemetar, aku mengambil sebuah novel yang agak tebal dari dalam ranselku.

Yah, setidaknya aku terlihat sibuk dengan ini.

Detik demi detik kulalui dengan membaca sambil sesekali melihat sosoknya yang duduk membelakangiku dengan tatapan kagum. Entahlah, hanya melihat punggungnya dari kejauhan seperti ini, bisa membuat bulan sabit terbit pada wajahku begitu saja.

Aku kembali menyibukkan diri pada novel di hadapanku sambil tersenyum. Dia sudah seperti mood booster-ku. Mood booster kesayanganku. Aku ingin terbahak menyadari pemikiran konyol itu.

Tingg~ Tong~

Bel tanda masuk kelas menjerit nyaring. Seakan memanggil-manggil para siswa yang masih sibuk akan dunianya sendiri untuk masuk kelas. Kubereskan isi ranselku yang hampir berhamburan dengan agak tergesa. Bodohnya aku bisa lupa, jarak kelasku dari taman belakang yang tersembunyi ini cukup jauh.  Harusnya aku pergi lebih awal tadi. Huft, mau tak mau, aku harus berolah raga ekstra pagi ini.

Semangat Derra!

Kuletakkan pembatas buku berbentuk bunga matahari pada halaman terakhir novel yang kubaca, kemudian memasukkannya ke dalam ransel dengan hati-hati. Yap, aku penyayang buku.

Just Want You To KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang