Edited
Derra POV
Kriiingg!!
Suara nyaring yang tak lagi asing bagiku menjerit membuatku menggeliat.
Jam menunjukkan angka 6 membuatku memutar mataku malas. Jika aku tak segera bergegas, pasti aku akan terlambat.
Aku segera berlari mengambil handuk dan berlari ke kamar mandi. Semoga saja gerbang belum ditutup. Huh, sekolah makin merepotkan saja!
***
Setelah turun dan membayar ojek, aku segera berlari menuju gerbang. Sudah ditutup. Aku menghela napas panjang. Tak ada pilihan lain lagi. Aku segera berlari menuju gerbang parkir samping sekolah.
Kutengokkan kepalaku kedalam. Hmm... tak ada guru piket, aman! Au segera berlari menuju kantin, tak ada orang di perjalananku... aman!
Aku segera memilih roti, hm stroberi atau coklat? Mungkin ayam? Ibu penjaga kantin melihatku dengan bingung.
"Telat, neng?" tanya ibu penjaga kantin.
"Iya, Bu. Belum sarapan juga hehe." Aku tertawa pelan.
"Bu, beli roti ayam ini satu sama air susu stroberi satu."
"Sepuluh ribu, Neng," kata ibu itu. Aku segera menyerahkan uang lalu segera berlari sambil sibuk memasukkan makanan tadi ke dalam tas. Lumayan, untuk dimakan sambil pelajaran nanti.
Setelah menaiki anak tangga, aku akhirnya ampai di depan pintu kelas. Aku menghela napas menguatkan diri.
Tokk... tokk... tokk...
Kuketuk pintu perlahan, namun tak ada jawaban. Kuputuskan untuk membukanya perlahan. Semoga bukan guru galak... semoa bukan guru galak... semoga bukan guru ga-
Kosong? Eh?
Eh? Mengapa hanya ada dua orang?
"Yang lain kemana? Ada tasnya kok nggak ada orang?" tanyaku.
"Pada main entah kemana. Kan hari ini kita jamkos sampe istirahat kedua, Ra." Aku melongo.
Aku tak pernah merasa sekesal ini. Kalau tahu akan begini, kenapa aku harus lari-lari seperti tadi? Kenapa aku harus buru-buru.
Sial. Mungkin ini hari sialku.
Aku menunduk dan berjalan menuju mejaku yang berada di pojok belakang. Aku meletakkan tas dan segera mengeluarkan makanan yang kubeli tadi.
Kulirik dua orang yang malah sibuk berkutat dengan buku cetaknya. Pemburu ranking. Tidak menikmati rejeki berupa jam kosong ini namanya. Hmmz...
Setelah ini ngapain ya?
Hm... perpustakaan sajalah...
***
Seperti dugaan perpustakaan memang sedang sepi. Tenang, nyaman sekali. Aku memilih buku di rak bagian novel. Setelah menemukan buku yang terlihat menarik, aku segera duduk di dekat jendela. Tak berapa lama, aku sudah tenggelam dalam bacaanku.
"Ehm," suara deheman membuatku mengangkat kepala dari novel yang kubaca.
Astaga! Katakan kalau ini bohong! Kutarik ucapanku tadi, ini bukan hari sialku. Ini keberuntungan!
Aku mengerjapkan mataku. Masih sulit menerima kenyataan di hadapanku. Maksudku, kedatangan orang yang tak terduga...
Beratus kali aku menghayalkan hal ini dan sekarang akhirnya terjadi. Tuhan, kalau ini hanya mimpi aku berharap aku tak akan pernah bangun. Ini terlalu membahagiakan untuk sekadar mimpi.
"Hei, gue ngomong sama lo." Ia menggoyangkan tangannya di depan wajahku yang melongo terdiam kebingungan.
Geffan. Ia berada di depanku, dengan jarak yang cukup dekat. Dari sini, aku mulai bisa melihat keseluruhan wajahnya yang selama ini hanya bisa kupandang dari kejauhan saja. Ia sangat dekat seakan aku bisa menyentuhnya kapan saja.
"K-kenapa?" Kucoba menenangkan detak jantungku yang tiba-tiba menggila. Ini gawat! Aku jadi gugup hanya karena tatapannya? Ayolah!
"Gue Geffan," katanya sambil mengulurkan tangannya.
Yah, aku sudah tahu itu.
Dengan perasaan bingung, kusambut uluran tangannya.
"D-Derra," ucapku sambil menjabat tangannya.
Aku baru menyadari ini. Jemarinya amat kokoh. Jemariku terlihat amat kecil apabila dibangingkan dengannya. Bisakah aku meleleh hanya karena melihat jarinya saja?
Ia duduk di hadapanku. Dalam beberapa menit selanjutnya. Kami sama-sama tak mengeluarkan suara. Hanya desau pendingin ruangan yang melingkupi kesunyian ini. Pengurus perpustakaan juga tak terlihat di mejanya. Aku tak dapat memikirkan satu topik pun untuk membunuh kesunyian ini.
Akan tetapi, tunggu dulu! Bukankah ia yang ingin menghampiriku? Harusnya Geffan yang akan berbicara. Tetapi menunggunya membuka suara membuatku merasa tak nyaman. Sedari tadi aku hanya menatap novel di hadapanku dengan pandangan kosong.
Kapan ia akan bicara?
"Gue..."
Akhirnya!
Apakah Geffan mulai sadar bahwa aku memperhatikannya setiap saat? Apa ia akhirnya luluh akan perjuanganku? Apa ia mau melupakan Kyna dan mengakui keberadaanku?
Pikiran-pikiran liar berkeliling seperti roller-coaster berbelit di pikiranku.
"Gue butuh bantuan lo," ucapnya jelas.
Oh.. ternyata bukan. Hmmz....
"Tolong deketin gue sama Kyna," katanya tanpa ragu.
Wow, tunggu. Apa ini? Situasi apa ini?
"Maksud lo apa?" tanyaku dengan bingung.
"Ya, jadi selama gue suka sama Kyna..."
Tapi selama ini gue suka lo!
Tuhan, bahkan Geffan dengannya pd-nya menyatakan perasaan sukanya. Bolehkah aku pulang sekarang saja? Rasanya ada jarum yang menunduk mataku.
"L-lalu?" Aku menjaga agar suaraku tetap tenang. Tapi, yang keluar hanya decitan aneh.
"Yah, gue mau minta tolong sama lo. Kyna itu... gue kejar malah tambah nggak peduli. Lo sahabatnya kan? Jadi, lo mungkin lebih tau banyak tentang Kyna. Jadi... please?" katanya panjang.
Harus aku jawab 'ya'? Jika aku melakukannya, sudah pasti aku akan menjadi perempuan paling bodoh tahun ini. Karena menjawab 'ya' untuk pertanyaan semacam ini sama saja dengan menaburkan garam ke atas lukamu sendiri. Luka yang masih menganga lebar.
Tapi, menjawab 'tidak' pada makhluk semacam Geffan malah membuatku semakin tidak tega untuk berhadapan dengan wajah kecewa. Ah... itu pasti tak menyenangkan. Apa yang harus kulakukan?
Setelah kupertimbangkan lagi. Akhirnya aku mengangguk kecil. Membuat wajah tampan di hadapanku ini tersenyum lebar penuh antusias. Sisi hatiku yang lain ikut tersenyum karenanya.
Terserah saja. Sebut aku perempuan bodoh yang sukarela menaburkan garam ke atas lukanya sendiri. Walaupun begitu, ini juga akan membuka kesempatanku untuk dekat dengan Geffan juga kan?
Mungkin kali ini, aku harus menutup luka itu. Atau berpura-pura bahwa luka itu tak pernah ada?
"Makasih Derra, gue tau lo itu cewek yang baik, yaudah kalo gitu, misi selanjutnya gue kabari nanti ya!" katanya antusias.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Berusaha terlihat se'normal' mungkin di depannya.
" Gue duluan ya! Bye!" ucapnya sambil berlalu pergi. Aku memandang punggungnya yang berlalu pergi.
Halo, luka baru...
***
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Want You To Know
Teen Fiction[ON EDITING] "Derra, ayo kita pergi!" ajakan Erika hanya ku jawab dengan gelengan pelan. Tidak, terima kasih. Erika menghembuskan nafasnya. Lelah membujukku yang masih belum ingin beranjak. Aku tahu. Semakin aku berdiri di sini, maka makin dalam pul...