Derra's POV
Pukul 6 sore.
Sejak pulang sekolah jam dua siang tadi, aku terus berjalan tak tentu arah. Aku berakhir di taman ini. Taman yang memang jarang aku kunjungi walau jaraknya hanya berkisar tujuh ratus meter dari rumah.
Ku perhatikan sekitarku. Sepi. Memang apa yang bisa diharapkan? Ini sudah magrib. Terlebih, tempat yang ku duduki cukup jauh dari jalan. Pencahayaan yang remang, suara nyanyian serangga malam, kehampaan, semua membuat sepi ini semakin menikam.
Geffan dan Kyna. Mereka akhirnya bersatu. Bahkan, Kyna baru menyadari perasaannya beberapa hari yang lalu. Bagaimana dengan aku yang memperhatikan Geffan sedari masa orientasi siswa? Bukankah dunia ini tidak adil?
Geffan. Aku sering bertanya-tanya, bagaimana aku bisa menyukainya? Apa daya tarik terbesarnya? Ia tidak tampan, tapi juga tidak jelek. Dia standar lebih. Ia tidak pandai bermain musik, ia juga bukan ketua klub olahraga tertentu. Ia juga tak selalu jadi peringkat pertama. Jadi, mengapa aku menyukainya?
Oh, tentu saja karena hal itu, Derra.
*flasback*
" Kamu! Kamu perhatikan depan!"
Suara bentakan yang terdengar dekat membuatku memejamkan mata. Menghalau rasa pusing karena panas matahari yang menyengat. Menghalau butir-butir debu yang beterbangan karena langkah-langkah yang kami ciptakan sendiri.
Aku teringat akan maag yang aku derita. Astaga, Derra. Kamu sungguh pandai sekali. Bagaimana kau melupakan suatu fakta penting? Bahwa kamu lupa memakan sarapanmu pagi ini. Tentu saja, rasa sakit di ulu hati ini tak akan hilang.
Uuhh... bagaimana aku bisa jadi sebodoh ini? Memiliki penyakit maag dan tidak sarapan? Lalu, berjemur di siang yang 'hangat' seperti ini?
Aku yakin, wajahku memucat. Menahan rasa panas, sakit, juga mual ini. Aku memejamkan mata, menggigit bibir bawahku, menahan ringisan menyedihkan ini. Aku mencoba mengingat. Apakah aku juga memasukkan obat maag-ku kedalam tas gandum ini?
Tentu saja. Mungkin aku sedang sial hari ini, karena jawabannya adalah, ' TIDAK'.
Ditengah rasa sakit yang terus mendera ini, aku mendengar suara berat.
" Andy!"
" Apa Fan?"
" Lo nggak liat?"
" Apa?"
" Tsk! Bego! Yang nomer 11! Dia udah keliatan sakit! Suruh mundur gih!" Ucap suara berat itu.
Aku tak berani membuka mata. Takut kalau silau matahari ini akan membuatku semakin pening dan akhirnya jatuh.
" Lo aja deh!"
" Oke!!"
Setelah itu, aku mendengar derap-derap kaki yang mantap menuju kearahku. Aku bahkan tak berani menyeka keringat dingin yang menuruni pelipis dan leherku. Aku tak ingin membuka mata.
" Dek," panggil suara itu dalam. Aku membuka mataku takut-takut.
" I-iya kak?"
" Ayo mundur!"
Lalu, aku merasakan jemari kokoh itu menarik tanganku. Aku yang merasa tak punya tenaga hanya setengah menyeret kakiku mengikutinya.
" Duduk,"
Seketika, kami sampai di UKS.
" Dia kenapa?" Tanya seorang gadis berjilbab hijau.
" Tolong carikan obat, dia hampir pingsan,"
Lelaki itu menyuruhku duduk di kursi kayu dekat pintu." Aku harus pergi," dia lalu pergi, tanpa melirikku.
" Nah, kenalin! Aku Elis, aku anggota PMR! Kamu sakit apa?"
" Sakit maag," jawabku pelan.
" Oh, oke, aku cariin obat dulu ya..."
Gadis yang memperkenalkan diri sebagai Elis tadi membongkar isi kotak P3K dengan semangat. Sampai akhirnya, ia mengambil sebuah botol obat yang terasa familiar bagiku. Ia segera menyodorkan botol obat itu kepadaku.
" Ini!"
Aku menerimanya, dan membuka tutupnya yang masih tersegel. Bau mint segera menyergap indra penciumanku ketika aku membukanya. Aku menghirup napas dalam-dalam. Ku ambil sebuah, lalu memakannya seperti permen. Rasa yang aneh, tapi siapa peduli?
Benakku masih memikirkan suara tadi. Suara yang dalam. Suara yang membuatku berdebar. Juga jemarinya yang kokoh. Rasa jemarinya saat melingkupi lenganku. Aku tersenyum ditengah sakit ini. Siapa namanya?
" Geffan tumben loh..." kata Elis tiba-tiba.
" Apa kak?" Aku tak mengerti.
" Tumben dia perhatiin adek kelas gitu. Biasanya orangnya cuek," katanya dengan senyum.
B-benarkah? Bolehkah aku terbang saat ini?
" Ciee... ada yang blushing!" Seru Elis mendapati pipiku yang penuh semburat merah.
Aku berdehem sejenak. Mencoba menormalkan lerasaan yang meletup tiba-tiba seperti ini.
" N-nggak kok," kataku singkat.
Setelah itu, Elis tak menggodaku lagi. Ia hanya menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Membuatku bingung menanggapinya.
*flashback off*
Semburan kilas masa lalu muncul begitu saja. Masa lalu yang menurutku indah. Hanya saja, jika dibandingkan dengan situasi seperti ini, aku lebih memilih tidak jatuh cinta. Tidak jika akhirnya hanya seperti ini.
Aku yang menyukainya. Tidak, mencintainya. Itu lebih tepat. Aku yang mencintainya sedari dulu, kuhabiskan waktuku memperhatikannya diam-diam. Sedangkan Kyna, ia baru mengetahui perasaannya beberapa hari yang lalu. Dan mereka bersama.
Begitu saja. Tanpa ada kisahku setelahnya. Sungguh, aku membenci hal ini. Rasanya ingin aku membenci Kyna, membenci Kyna, membenci takdir, membenci semua ini. Tapi apa aku bisa? Aku tak kuasa bila melihat mereka nanti bergandeng tangan. Aku lelah. Lelah dengan semua ini. Air mataku menetes, berjatuhan begitu saja. Pertahananku runtuh. Aku menangis. Lagi.
***
" Derra!"
Suara bariton Ayah terasa amat mencekam. Ruang tamu ini lenggang, hanya ada seorang pria yang amat berarti dalam hidupku. Beliau duduk di sebuah sofa berwarna coklat. Sesekali membenarkan letak kacamatanya.
" Iya Yah,"
" Kemana saja kamu?" Tanya Ayah dalam.
Aku hanya diam.
" Sudah berapa kali Ayah bilang? Keluyuran sehabis pulang sekolah itu tidak baik!" Kata Ayah berapi-api. Aku semakin kecil dibuatnya.
" Kamu juga pergi tidak jelas! Apa manfaatnya?!" Kilat marah terus berkobar.
" Maafkan Derra, Yah," kataku lirih.
Aku melangkahkan kakiku melewati Ayah yang masih mendelikkan matanya kepadaku. Ini semakin membuatku menciut tentu saja.
Tetapi, beliau tidak menyuruhku diam. Hanya memandangiku dengan mengintimidasi sampai pintu kamarku.
***
Tbc.
tapi, yang paling penting... makasih kalian yang sudah menyempatkan waktunya untuk membaca cerita gaje bin aneh bin labil ini...
Maapkan pula atas typo, feel yang enol(0), dan diksi yang kurang tepat.
Terimakasih buat vote-nya...
Mari kita doakan semoga kisah si Derra jadi lebih bahagia 😅yours,
Line
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Want You To Know
Novela Juvenil[ON EDITING] "Derra, ayo kita pergi!" ajakan Erika hanya ku jawab dengan gelengan pelan. Tidak, terima kasih. Erika menghembuskan nafasnya. Lelah membujukku yang masih belum ingin beranjak. Aku tahu. Semakin aku berdiri di sini, maka makin dalam pul...