[EDITED]
DERRA'S POV
Awal hari yang menyebalkan. Mood-ku langsung turun drastis. Sepertinya pelajaran fisika di awal pagi sukses membuat mood hancur. Aku menghela napas panjang. Aku menyusuri koridor dengan langkah gontai.
"Derra Wiems...."
"15 menit kamu tahu apa artinya?"
"Keluar dari kelas ini sekarang juga!"
Suara menggelegar Ibu Marsya masih terngiang di kepalaku. Ingin sekali aku menyuruh otakku untuk tidak memutar kilasan tadi karena—oh aku berani bertaruh siapa saja akan sependapat denganku—suara menggelegar tadi baru satu kali ku dengar, aku yakin yang lain juga baru saja mendengarnya ditambah lagi, suara itu amat tak cocok dengan kebiasaan Bu Marsya yang menerangkan dengan lemah lembut.
Haaahh~
Bagus sekali Derra, semua murid belum pernah mendengar suara menggelegar dari Bu Marsya dan hari ini semua orang mendengarnya karena ulahmu sendiri. How nice?
Yah, mau bagaimana lagi?
Aku mengangkat bahu dan terus berjalan tak tentu arah. Melewati kelas-kelas tanpa semangat yang berarti. Aku tak merasakannya, langkah kakiku, berat ransel ungu pada bahuku, aku seperti berada pada dimensi lain. Hingga langkah kakiku berhenti dengan sendirinya, membuatku merasa seperti ditarik ke permukaan bumi lagi.
XII-IPA-1
Aku terkesiap. Ini menakjubkan tapi juga membingungkan. Bagaimana bisa? Aku hanya berjalan tak tentu arah dari tadi, bagaimana aku bisa sampai kesini? Aku menatap pintu ruang kelas itu dengan bingung. Aku juga tak habis pikir. Saat pikiranmu tak ada bersamamu dan kau hanya melangkah, tiba-tiba kau berada di depan kelas orang yang kau suka. Hm.
"Ekhm... kalau berhenti lihat tempat, permisi."
Deg. Suara itu?
Aku yakin seratus persen itu adalah Geffan. Geffan tipikal orang yang sangat irit bicara. Walaupun ia sangat dingin dan sangat hemat berbicara, aku tetap saja pernah mendengar suaranya. Walau hanya beberapa kali mendengarnya, otakku entah kenapa dapat merekam dengan jelas suara itu. Suara yang dingin, mendominasi, serak, dan berat.
Dengan aneh, aku membalikkan badanku sembari mengumpulkan keberanian. Berbalik, mata hitam kelam yang dalam itu seakan menghipnotisku. Tanpa perlawanan, aku menatap ke dalam bola mata hitamnya yang kini menatap tajam padaku.
"Ekhm," ia berdehem lagi. Menarikku dari samudra kelamnya. Aku mengerjapkan mata dengan bodoh.
Memalukan.
"Tolong minggir sedikit," katanya singkat dan cepat. Aku tak bergeming seolah mematung.
"Eh?" Aku bingung, apa katanya tadi?
"Minggir," katanya dalam.
Salah tingkah lagi.
Dengan bodoh, aku bergeser kearah samping, membiarkannya lewat bersama tumpukan buku tugas di kedua tangannya.
"Maaf," kataku pelan ketika ia lewat.
"Tak masalah," jawabnya singkat, lalu menghilang di balik pintu ruang kelasnya.
Bukan hanya tentang itu, bodoh. Maafkan aku terlalu jatuh pada pesonamu, maafkan aku. Aku memang bodoh, mencintaimu yang ternyata mencintai teman dekatku sedalam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Want You To Know
Teen Fiction[ON EDITING] "Derra, ayo kita pergi!" ajakan Erika hanya ku jawab dengan gelengan pelan. Tidak, terima kasih. Erika menghembuskan nafasnya. Lelah membujukku yang masih belum ingin beranjak. Aku tahu. Semakin aku berdiri di sini, maka makin dalam pul...