Jarum jam itu terus berdetik. Mereka tak akan penah berhenti. Dan mereka tak akan mengulang yang telah mereka lewati. Banyak orang yang menghabiskan waktu berharga mereka dengan memikirkan sesuatu yang amat penting bagi hidup mereka. Namun sebagian lagi memilih diam dan merenungkan hal yang belum tentu penting bagi hidupnya. Ataupun menyesali apa yang sudah terjadi.
Penyesalan adalah kata baru yang tertulis di kamus Hazel. Rasa aneh yang seakan terus memukul dadanya ketika mengingatnya. Perasaan ingin menangis ketika mengingatnya. Kata baru yang cukup meninggalkan tekanan batin baginya.
Hazel memejamkan matanya dan membiarkan bulir-bulir oksigen itu naik ke atas permukaan. Makin lama ia makin mendorong tubuhnya ke dasar bathup. Paru-parunya terasa mulai mengecil. Otaknya mulai memperingatinya agar mengambil nafas, namun ia mengelak. Ia rasa ia lebih baik mati daripada terus merasakan kepedihan ini. Toh, suaminya tak lagi membutuhkannya.
Kematian seakan sudah ada di hadapannya. Makin dekat, Hazel merasa makin senang. Tak ada gunanya lagi ia hidup di dunia fana ini. Mungkin jika ia mati semua orang menjadi bahagia. Tak ada lagi dirinya yang egois dan menyebalkan. Mungkin Rose akan merayakan kematiannya. Dan mungkin Niall bisa bahagia dengan Ariana.
Satu tarikan kasar membuat Hazel langsung membuka matanya. Nafasnya tersenggal-senggal setelah tubuhnya keluar dari permukaan air. Ia terbatuk berkali-kali. Tadi itu hampir saja.
"Apa yang kau lakukan, Haz?!" Tanya Lily sedikit membentak. Ia mengguncangkan bahu Hazel berkali-kali. Wajahnya benar-benar melukiskan kekhawatiran.
Hazel menundukkan kepalanya dan mulai merasakan matanya memanas. Ternyata msih ada yang peduli dengannya.
Lily membawa tubuh lemah Hazel ke dalam pelukannya. Ia tak lagi memikirkan pakaiannya yang pastinya basah karena pelukan mereka. Melihat sahabatnya yang mencoba membunuh dirinya sendiri membuat hatinya bergetar. Apalagi mengingat alasan dibalik wanita itu mencoba untuk bunuh diri.
Niall dan Hazel. Ada kesamaan diantara mereka berdua; hidup mereka benar-benar kacau sepeninggalan satu sama lain. Niall yang depresi dan Hazel yang seakan sudah putus asa dengan hidupnya sendiri. Semakin jauh jarak memisahkan mereka semakin sakit rasanya. Mereka seakan terikat oleh tali yang sama-sama diikat di lehernya. Ketika dekat, mereka tak merasakan kesakitan apapun. Namun ketika mereka melangkah berjauhan rasa sakit mencekik leher mereka.
"Aku tak berguna lagi, Li. Aku lebih baik mati," ucap Hazel sambil sesenggukan.
"Sh! Jangan bilang seperti itu! Kita semua membutuhkanmu. Aku, Liam, ibumu, dan Niall amat membutuhkanmu. Ku mohon jangan ulangi lagi perbuatanmu itu," bisik Lily, mengeratkan pelukannya.
Hazel hanya diam, tak merespon ucapan Lily. Ia masih terisak di bahu Lily. Rencana merengang nyawanya gagal untuk ke empat kalinya.
Bunuh diri. Hazel berfikir jalan itu yang paling baik untuk dipikih demi kebaikan semua orang. Ia sudah lelah dan tak sanggup menghadapi semua ini. Jika dilihat lagi, masalah yang dihadapinya tak begitu ruwet dan hanya diperlukan toleransi antara satu sama lain. Namun baginya, masalah itu terlihat bagaikan ribuan benang yang terikat satu sama lain dan ia harus meluruskan seluruh benang itu.
Setelah Hazel cukup tenang, Lily melepaskan pelukannya dan menatap iba sahabatnya yang mengenakan baju basah dan juga wajah wanita itu yang terlihat amat pucat.
"Sudah, berhenti menangis ya? Lebih baik kau ganti bajumu, nanti kau sakit," usul Lily. Hazel hanya mengangguk kecil dan mencoba bangkit. Liliy ikut membantunya. Setelah mengantar Hazel keluar dari kamar mandi, Lily pamit keluar untuk memberi Hazel sedikit ruang baginya untuk berfikir bahwa apa yang akan ia lakukan tadi tak akan membuahkan hasil dan malah memunculkan masalah lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold tight | njh✔️
FanfictionSemua yang indah belum tentu terus bertahan selamanya. Semua yang kau inginkan belum tentu akan terwujud. Namun setelah menatapmu aku yakin semuanya akan berjalan baik-baik saja. [Sequel of 'Thin Line'] Copyright © 2015 by Kryptonitexx