Chapter 33

2K 259 127
                                    

Kemarahan dalam diri Niall memuncak semenjak kepergian Zayn dan Alex. Tangannya mencengkram sempurna di kedua sisi. Ia pun membalikkan tubuhnya dan langsung menarik kerah Liam. Gerakan dadakan itu sudah dapat ditebak oleh Liam sebelumnya. Ia sudah mempersiapkan dirinya. Dicengkram kerah kemejanya begitu erat, Liam mencoba melepaskan cengkaraman tersebut. Namun makin ia mencoba meloloskan diri makin erat pula cengkramannya.

Liam dapat melihat dengan jelas betapa murkanya Niall lewat mata birunya. Perlahan ia mulai tak yakin jika akan kembali ke rumah dengan baik-baik saja. Ia berpikir jika setidaknya hidungnya akan patah sore ini.

"Lepaskan!" seru Liam, masih terus mencoba membebaskan dirinya. Satu-satunya orang yang bisa melerai hanyalah Louis tetapi bergerak pun tidak, Louis hanya duduk menegang dan menontoni kedua sahabatnya.

"Berhenti ikut campur!" desisan Niall perlahan berubah menjadi bentakkan. Tangan kanannya yang terkepal di angkat ke udara. Memejamkan matanya, Liam menantikan pukulan keras di wajahnya. Ia pasrah dalam cengkraman Niall.

"Niall, lepaskan Liam," Louis bangkit dari tempatnya. Sebelum ia bisa melerai, Niall sudah melepaskan pukulannya. Bunyi 'buk' yang cukup keras membuat ia terperangah sesaat.

Niall kembali mengangkat tangannya. Tak ingin kejadian sama terulang, Louis mencoba memisahkan mereka namun tenaganya kalah dengan Niall yang memandang Liam dengan beringas. "Niall, hentikan!"

Pukulan kedua berhasil diberikan. Kali ini Liam tersungkur di lantai dan terbatuk. Niall membalikkan tubuh Liam yang belum sepenuhnya sadar dan lagi-lagi mengangkat kepalan tangannya. Louis berhasil menahan tangan Niall, "AKU BILANG BERHENTI! Sadarlah, dia sahabatmu!"

Masih dengan tatapannya yang tajam pada Liam, Niall menggumamkan sumpah serapah. Lantas duduk di kursi untuk menenangkan dirinya sendiri. Liam menghapus darah segar di ujung bibirnya dan berucap, "kau gila, Niall."

Mereka terdiam cukup lama. Bagi Louis tiap detik yang bergulir makin gemetar saja tubuhnya. Hal yang disembunyikannya selama ini benar-benar membuat dirinya resah. Ia takut akan respon Niall. Tapi ia tahu dirinya tak bisa terus-terusan menyembunyikannya.

Louis melirik pada Niall yang kini menatap kosong pada meja, "Niall, aku perlu bicara denganmu."

Mendengus meremehkan, Niall langsung melemparkan pandangnya pada Louis. Sontak Louis langsung menunduk karena ia tahu tatapan Niall pasti akan membuatnya kembali menutup mulut karena takut.

"Kau mau menuduhku lagi kan? Seorang lelaki brengsek yang hanya bisa menyiksa anaknya."

Ujung baju Louis sudah berantakan, terlalu sering dan erat ia menggenggamnya. Lantas Louis menggeleng, "tidak," Louis menarik napasnya dalam-dalam dan melirik takut-takut pada Niall, "aku ingin membicarakan kebenaran."

Liam yang tadinya masih sibuk membersihkan darahnya sendiri langsung berhenti bergerak dan menoleh kebingungan pada Louis. Terlebih lagi Niall yang mendongak dengan alis tertaut. Sama sekali tak mengerti dengan kata-kata Louis.

"Kebenaran apa?" tanya Niall, menahan cemas.

Setelah Louis menjawab baik Liam maupun Niall langsung membeku di tempat, terperangah tak tahu harus menjawab apa. Hati Niall mencelos begitu saja, penyesalan tiba-tiba menghantamnya. Ia tak tahu apa yang diucapkan Louis benar-benar sebuah kebenaran atau hanya guyolannya saja. Tetapi Louis tahu situasi. Ini bukan saatnya untuk bercanda.

"Kebenaran jika Ava adalah anakmu."

.

Louis tersenyum ramah pada sepasang suami istri di hadapannya. Perut si istri yang sudah membesar sedikit menyulitkannya untuk bangkit sehingga suaminya membantu dan menuntunnya keluar dari ruang periksa. Setelah pintu abu-abu itu tertutup, Louis menghela nafas, melepas kacamatanya, dan menyederkan dirinya ke kursi. Shift-nya sudah selesai. Ia mulai merencanakan makan malam yang akan dibelinya malam itu di dalam kepalanya.

Hold tight | njh✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang