Chapter 27

1.9K 256 55
                                    

Lagi-lagi di malam ketiga Hazel hanya duduk termenung di sofa. Kantong matanya makin hari makin menghitam. Ia nyaris tidak bisa tidur dua malam terakhir. Matanya terus terjaga dan telinganya awas menanti tanda-tanda suara kedatangan Niall.

Kepalanya ia senderkan pada tangan kiri yang ia tumpu pada lengan sofa sedangkan tangan kanannya menggenggam selebaran profil sekolah dasar yang sudah dibacanya berulang kali malam ini. Fisiknya terasa sama letih dengan psikisnya. Hari ini ia menemani anak-anaknya membeli perlengkapan sekolah. Maklum empat hari lagi Alex dan Ava masuk ke sekolah dasar. Tapi mereka tak sesemangat seperti para calon murid lainnya.

Bukan hal yang mudah bagi kedua anaknya untuk melakukan hal-hal, yang mestinya dilakukan bersama kedua orang tua mereka, sendirian. Kemurungan terasa begitu jelas pada diri Alex dan Ava. Semua kebahagiaan yang seharusnya ada di rumah Hazel dan Niall bagai ikut terbawa bersama kepergiaan Niall. 

Setidaknya mereka —Alex dan Ava— bisa berhenti bertanya atau bicara  pada Hazel mengenai ayahnya hari ini. Kepala Hazel sudah terlalu pening mendengar pertanyaan-pertanyaan anaknya. Rasanya ia ingin sekali berteriak jika ia juga tak tahu ke mana perginya Niall. Ratusan pesan telah ia tinggalkan, berpuluh-puluh kali ia mencoba menghubungi Niall, bagaikan kepeduliannya tak berarti, Niall menonaktifkan ponselnya membuat semua usaha Hazel sia-sia.

Rasa sesak yang sudah diafalnya terasa kembali mencekik kerongkongan. Tanpa kabar dan penjelasan, harapan Hazel mulai menciut sebiji jagung. Sering kali terbesit di kepalanya jika pertemuannya dengan Niall tiga hari yang lalu adalah yang terakhir. Dan setelah itu biasanya Hazel akan menenangis di kamarnya. Ia sudah berusaha. Menghubungi kantornya, mendatangi kantornya sekali yang malah berujung cekcok dengan penjaga keamanan karena ia tak diperbolehkan masuk, dan berdoa agar Niall cepat kembali. Namun sama saja, semua usaha itu terasa sia-sia.

Kehadiran Niall amat dibutuhkan, terlebih dalam pertumbuhan kedua anaknya. Niall tak bisa pergi begitu saja dan membiarkan kedua anaknya tumbuh tanpa sosok ayah. Hazel merasa tak mampu untuk membimbing mereka sendirian. Hazel ingin membenci Niall. Membencinya karena pergi. Setidaknya ia bisa menjelaskan apa yang terjadi kepada Hazel. Membuat Hazel merasa dirinya sepenting pekerjaan Niall.

Niall egois dan ia adalah akar dari permasalahan ini. Jika ia bersedia menjelaskan hal penting apa yang dilakukannya, Hazel tak akan uring-uringan mencari tahu apa yang Niall lakukan.

Namun di sisi lain Hazel juga menyalahkan dirinya meskipun ia sendiri tak tahu apa yang salah diperbuatnya.

Rangkaian kata telah tersusun dalam benaknya yang akan diucapkannya nanti saat Niall kembali. Permintaan maaf, tuduhan, sumpah serapah, dan pertanyaan bercampur aduk dalam rangkaian kata itu. Emosi Hazel benar-benar tak stabil dikala ia merangkai kata, ia bisa menangis karena permohonan maafnya sendiri dan sesaat kemudian ada api kemarahan seolah membakar dadanya. Ia tak yakin dapat mengatakannya selancar yang dipikirkannya.

Mungkin kali ini ia yang harus mengalah demi mempertahankan hubungannya.

Suara mesin mobil terdengar mendekat, memasuki garasi rumahnya. Hazel mengerjap beberapa kali. Tubuhnya menegak. Dia yakin ini bukan mimpi atau halusinasinya semata. Dia pulang. Niall pulang!

Hazel cepat-cepat bangkit, melangkah secepat mungkin mendekati jendela, mengintip dari balik gorden. Lampu mobil mati bersamaan dengan pintu mobil tersebut terbuka lebar, keluarlah sosok Niall yang turun dari mobil. Hazel terperangah, matanya hanya terkunci pada Niall yang masuk ke beranda rumah. Namun Niall tak langsung membuka pintu. Ia berdiri di depan pintu selama beberapa saat sebelum memutar kenop pintu.

Nafas Hazel tertahan seolah tiap langkah yang terdengar masuk ke dalam rumah menekan paru-parunya. Perlahan Hazel memutar tumitnya. Matanya mulai memanas. Lagi-lagi ia dibuat terperangah oleh Niall.

Hold tight | njh✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang