Kaki polosnya menggantung tak menyentuh lantai. Tangannya mengucek-ngucek matanya yang terasa masih amat berat. Perlahan pendengarannya mulai jelas, sayup-sayup ia menangkap suara orang bernyanyi dari balik pintu kamar mandi. Suaranya tak terdengar begitu jelas karena berdampingan dengan guyuran air yang keluar dari shower.
Hazel tersenyum sesaat bersyukur jika hari ini ia masih bisa diberi kesempatan mendengar suara lelaki itu. Mengingat betapa besar kekhawatirannya kemarin setelah mendapat kabar jika suaminya sendiri kecelakaan.
Ketika ia berniat untuk bangkit, pintu kamar mandi yang terletak di dalam kamar pun terbuka. Tubuh Niall bagian atas yang masih basah ia biarkan terlihat. Sedangkan bagian bawahnya ia balut dengan handuk putih.
Lelaki itu berjalan begitu saja menuju lemarinya seakan tak menyadari keberadaan isterinya yang duduk dan memperhatikannya.
"Selamat pagi, Niall," sapa Hazel. Entah dorongan dari mana ia memilih untuk memanggilnya dengan nama.
Angan-angan Hazel untuk melihat senyuman hangatnya pagi ini hancur begitu saja setelah melihat Niall masih sibuk dengan pakaian yang ada di lemarinya dan juga balasan kaku yang terucap oleh Niall.
"Selamat pagi."
Hazel mencoba menepis kemungkinan terburuk yang mulai menghampirinya. "Apa kau bermimpi indah semalam?"
Niall menutup lemari pakaian dan kembali berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik sedikitpun kepada Hazel. "Sangat indah. Lebih indah daripada kenyataan yang ku hadapi sekarang."
Bantingan pintu yang tak begitu keras namun hal itu cukup membuat Hazel tersentak dan bertanya-tanya sendiri. Ia rasa semalam lelaki itu masih biasa saja. Apa yang terjadi dengannya?
Ia memutuskan untuk tidak begitu memusingkan prilaku Niall pagi ini. Bangkit dari tempatnya dan bergerak menuju dapur, Hazel akan membuat sarapan kali ini. Meskipun ia telat bangun namun tanggung jawabnya sebagai seorang isteri tak bisa dia abaikan begitu saja.
Hazel mengela nafas setelah mencari bahan sarapan. Tak ada satupun bahan di dapurnya. Kemarin ia belum sempat belanja dan sepertinya saat Hazel 'hijrah sesaat' ke rumah ibunya, Niall tak membeli apapun. Hanya tersisa roti lapis dan beberapa selai.
Setelah menyiapkan roti lapis dan teman-temannya, Hazel membuat teh untuk dirinya dan Niall. Sambil menunggu Niall, ia duduk di atas kursi dan menyesap tehnya.
Tak berselang lama, orang yang ditunggunya pun datang. Niall sudah siap dengan sweater abu-abu berukuran pas dengan tubuhnya yang menutupi kemeja biru yang dikenakannya. Penampilan yang baru menurut Hazel. Biasanya lelaki itu mengenakan jas formal maupun semi-formal, tak pernah sekalipun ia mengenakan sweater untuk pakaian kerjanya.
Merasa karena ia diabaikan sebelumnya, Hazel kembali menyapanya. "Selamat pagi, Niall."
"Pagi," jawab Niall singkat. Ia duduk di seberang Hazel yang memperhatikannya dengan tanda tanya besar.
Rasanya konter dapur ini makin lebar sehingga menjauhkan jarak antara dirinya dengan Niall. Ia merasa amat jauh dengannya.
Pergerakan Niall yang meneguk tehnya tak menginterupsi Hazel yang terus memperhatikannya. Lelaki itu bahkan tak mau menatapnya. Ada yang aneh, ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Bisa tolong ambilkan selai cokelatnya?" Hazel terbangun dari lamunannya dan memberikan toples kecil di depannya kepada Niall yang menyibukkan dirinya.
"Apa kau masih pusing?" Tebak Hazel. Melihat hansaplast bening yang tertempel di dahi Niall membuatnya teringat dengan tokoh-tokoh anak nakal yang ditontonnya di televisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold tight | njh✔️
FanficSemua yang indah belum tentu terus bertahan selamanya. Semua yang kau inginkan belum tentu akan terwujud. Namun setelah menatapmu aku yakin semuanya akan berjalan baik-baik saja. [Sequel of 'Thin Line'] Copyright © 2015 by Kryptonitexx