Di balik kaca mobil, Hazel mematung. Memandang pekarangan rumah yang kering dengan sendu. Dirinya seakan didorong ke sebuah mesin waktu. Membuat ia seakan menontoni pasangan bahagia itu tengah menyemprot satu sama lain dengan selang, tertawa begitu riang, saling berlarian mengejar satu sama lain sampai akhirnya si lelaki berhasil menangkapnya. Mereka berdua terjatuh. Masih dalam pelukan lelaki itu, si wanita menciumi pipi lelaki itu berkali-kali hingga mereka kembali tertawa.
Pasangan itu adalah dia dan Niall beberapa tahun yang lalu. Masa-masa terbaik dalam hidupnya.
"Haz," panggilan itu membuatnya tertarik kembali dalam kenyataan. Tak ada lagi keindahan di pekarangan rumah itu. Tak ada lagi pasangan itu. Semuanya kembali seperti sebagaimana seharusnya.
Di sebelahnya, Lily menggenggam erat tangannya dan tersenyum lembut, mencoba memberikan semangat.
"Kau yakin ingin masuk?" Lily memandangnya lekat-lekat. Ia sedari awal sudah ragu akan keputusan Hazel yang ingin menemui Niall. Ia hanya takut jika Niall kembali melukai sahabatnya lagi, "kau bisa tunggu di sini sembari aku mengambil barang-barangmu."
Hazel menggeleng lemah, sama seperti yang ia lakukan sebelumnya. Terlalu banyak hal yang sudah Lily lakukan padanya dan Ava dengan sukarela bahkan hingga membiayai sekolah Ava, "aku bisa sendiri."
Sesaat Lily terdiam, memberikan jeda bagi Hazel jika saja ia mengganti pilihannya. Setelah memperhatikan Hazel, yang kembali menatap pekarangan, Lily menyadari jika Hazel memiliki keyakinan besar untuk menemui suaminya kembali dengan luka besar yang masih menganga di dalam hatinya. Lily bergerak memeluk Hazel.
"Teruslah kuat, Hazel," bisik Lily pelan. Ia melepas pelukannya, "telpon saja jika kau ingin dijemput."
Hazel hanya sekedar mengangguk dan segera merangkak keluar mobil. Gaun bermotif bunga-bunga selututnya berkibas lembut akibat angin. Hazel berjalan timpang melewati pekarangan. Mesin mobil di belakangnya terdengar dinyalakan dan dalam waktu beberapa detik mobil yang dikendarai Lily terdengar menjauh.
Langkah Hazel terhenti. Kakinya seakan melemas hanya mendapati seseorang yang duduk di kursi dengan sebatang rokok di antara jemarinya. Rasanya Hazel ingin berjalan mundur, menghubungi Lily untuk kembali. Sayangnya ia merasa begitu beku hingga hanya untuk sekedar bergerak ia tak mampu.
Tatapan tajam nan dingin itu masih sama seperti yang didapatinya saat terakhir mereka bertemu. Tatapan yang seakan melahapnya bulat-bulat.
Hazel melangkah ragu-ragu. Tak ada sambutan ramah saat ia berhasil menaiki tiga pijakan tangga yang terasa bagai ribuan tangga saat ia menaikinya tadi. Niall masih duduk, menyesap rokoknya sesekali, dan mendelik tajam tiap lima detik.
Canggung.
Hazel berdiri takut-takut di bibir balkon, menunduk tak berani menatap langsung. Niall masih juga bergeming di tempatnya. Bagai tak berminat akan kedatangan Hazel padahal dirinya sendiri yang memintanya untuk datang.
"Selamat sore," sapa Hazel dengan suara serak. Sedikit menundukkan kepalanya lebih dalam. Dari ekor matanya ia bisa merasakan Niall bangkit, membuang rokoknya sembarangan dan menginjaknya. Benda yang berada di jangkauan matanya sekarang bukan lagi sepatunya melainkan juga kaki polos milik Niall. Hazel menahan nafasnya.
Dengan sedikit keberanian yang dimilikinya, Hazel mendongak. Sesaat rasa hangat seakan mengalir dalam dirinya ketika menatap langsung mata biru itu. Rasa kekaguman itu bertukar menjadi rasa takut dalam sekejap. Mata biru itu bukan lagi memberikan sebuah kelembutan namun sebuah kebencian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold tight | njh✔️
FanfictionSemua yang indah belum tentu terus bertahan selamanya. Semua yang kau inginkan belum tentu akan terwujud. Namun setelah menatapmu aku yakin semuanya akan berjalan baik-baik saja. [Sequel of 'Thin Line'] Copyright © 2015 by Kryptonitexx